Sejarah Masjid Nurul Falaah Kedungpuji

Kiyai Bahruddin bin Haji Aulawi  dan K.H Ahmad Ridwan (Romelan Abdullah) Bin Haji Abdul Mu`in adalah dua orang Tokoh Islam yang tak bisa dipisahkan dengan berdiri dan berkembangnya Masjid Nurul Falaah & Rintisan Dakwah Islam di Dukuh Pucang atau bahkan di desa Kedungpuji dan sekitarnya.

Pucang adalah salah satu pedukuhan di desa Kedungpuji Kecamatan Gombong Kab. Kebumen. Masih ada beberapa pedukuhan yang lain seperti Ngentak Gumawang, Dukuh Plana dan Dukuh Kedunglo. Dukuh Pucang konon dulunya adalah merupakan sebuah Kadipaten bagian dari kekuasaan Kasunanan Surakarta yang kemudian berpindah menjadi Kadipaten Roma Jatinegara (sekarang masuk wilayah kec. Sempor). Didalam cerita konon terkenal Adipatinya yang bernama Adipati Jono yang berebut calon isterinya Roro Sulastri dengan Joko Puring.

Ketika Pucang menjadi kadipaten, pedukuhan Kedunglo masih menjadi hutan dipinggir sungai yang banyak pohon Elo maka disebut sebagai Kedung Lo. Lalu di kemudian hari dari beberapa pedukuhan bergabung dibentuk menjadi satu desa dengan nama Kedungpuji, yang maksudnya jelas bukan ada kedung yang dipuji yang bisa jadi musyrik disamping di desa Kedungpuji tak ada sebuah Kedung tapi warga desa ini banyak memuji Hyang Maha Agung (Allah Subhanahu Wata`ala) maksudnya agar warga desa Kedung Puji menjadi manusia yang pandai mensyukuri anugerah dari Yang Maha Kuasa.

Lurah atau kepala Desa Kedungpuji sejak jaman perjuangan adalah Bapak Samijo Singo Dimejo (bapak dari Mas Jasimin, Mbak Zubaidah, Mas Joharman Cs) yang sebelumnya desa ini dipimpin oleh Ki Lurah Karta Senjaya (kakek dari Mas Bambang Wijonarko-Mas Wiwi Cs)

Masjid Nurul Fallah dan Pesantren
Masjid Nurul Falaah dukuh Pucang desa Kedung Puji didirikan sekitar tahun 50an oleh Kiyai Bahruddin yang mendapat tanah wakaf dari Zainuddin keluarga Mbah Dukun. Karena pada jaman itu masih banyak pemuda remaja kampung yang ingin mencari ilmu agama maka di masjid Kedung Puji juga ada pondok pesantrennya.

Santri yang belajar banyak dari berbagai pelosok desa ada yang menginap ada juga yang dilaju (santri kalong) salah satu santri yang masih ada yaitu Kiyai Qomarun, sekarang menjadi Kiyai di Masjid Jrabang-Desa Grenggeng dan masih banyak santri-santri yang lain yang hanya mengaji pokok-pokok ajaran agama saja.

Almarhum Kiyai Bahruddin adalah termasuk Kiyai Kharismatik maka banyak santri-santri yang sowan kepada beliau dari luar kabupaten, dan beliau juga sering tabligh ke pelosok desa apalagi kalau bertepatan hari raya Islam seperti Maulud dan Rojab. Beliau putra  Haji Aulawi dari Kebarongan Wetan (Kebarongan termasuk wilayah Banyumas, ada 2 blok Wetan dan Kulon, di Kebarongan Kulon ada Pondok Pesantren Wathoniyah Islamiyah) Kiyai Bahruddin adalah menantu Kiyai Sayuti yang merupakan penduduk asli kedung puji dan konon masih bernasab keturunan ke Adipati Pucang Raden Jono, yang terkenal pada cerita Babad Pucang.

Di Kedungpuji ada dua Tokoh Agama, selain Bapak Kiyai Bahrudin ada Bapak Romelan Abdullah yang kemudian dikenal menjadi K.H Ahmad Ridwan Al-Badrie seorang kiyai kampung aktifis Masyumi dan pernah jadi guru Alm. Bapak Brig Jend Burhani Cokro Handoko-Dirjen Bimas Islam, dan sama-sama aktif di Pejuang Kelaskaran Hizbulloh dan Sabilillah.

Pada awalnya Kiyai Bahruddin tidak suka ikut di Politik dan cenderung membatasi agar murid-muridnya jangan ikut-ikutan di Politik namun setelah di beri penjelasan oleh isteri K.H Ahmad Ridwan, Ibu Hj Mungazimah betapa pentingnya politik dalam perjuangan Islam, maka Kiyai Bahruddin menyadari. Begitu mudahnya Kiyai Bahruddin menerima penjelasan dari Ibu Hj Mungazimah padahal beliau terkenal sebagai tokoh yang di segani, untuk menghadap saja orang sudah banyak yang takut, adalah karena ternyata Kiyai Bahrudin masih murid Kiyai Bakri orang tua Ibu Mungazimah, Kiyai Bakri juga masih teman dari Kiyai Sayuti mertua dari Kiyai Bahrudin.

K.H Ahmad Ridwan atau Pak Romelan Abdullah dan Kiyai Bahrudin adalah dua sosok yang amat berbeda dan banyak mempunyai perbedaan pemahaman (ikhtilaf), bukan saja dalam pensikapannya dalam masalah politik (yang dalam masalah politik akhirnya Kiyai Bahrudin mengikuti langkah Pak Romelan) juga dalam masalah cabang-cabang (furu`) masalah agama.

Kiyai Bahrudin banyak mempelajari ilmu hikmah seperti Kitab Syamsul Ma`arif dll, sedang Pak Romelan lebih banyak mempelajari bahasa arab nafsu shorof dan ilmu Tafsir seperti Al Jalalain, Maroghi, Khozin, Jauhar dll. Namun dari perbedaan itu beliau hampir tidak pernah berselisih, paling tidak dihadapan umat, amat jarang yang tahu bahwa antara beliau berdua mempunyai perbedaan dalam cabang-cabang masalah agama Islam.

Hal ini perlu jadi tauladan bagi generasi berikut dalam pensikapannya masalah perbedaan pendapat dalam masalah cabang (ikhtilaf fil furu`). Umat tak usah gelisah dengan adanya perbedaan yang penting disikapi dengan cerdas dan lapang ada (tasamuh).

Era Kepengurusan Kaum Muda
Setelah sekian lama masjid Nurul Falaah tak mempunyai sesepuh sebagai rujukan dalam masalah agama maka sampailah pada kepemimpinan Takmir oleh Mas Bambang Purwanto S.Ag. orang asli Kedung Puji putra dari Bapak Supyan seorang tokoh masyarakat Kedung Puji yang cukup kesohor di Desa Kedung Puji. Mas Bambang adalah alumni Institut Agama Islam negeri Sunan Kalijaga (sekarang Universitas Islam Negeri-UIN), beliau adalah seorang aktifis islam sejak masih di Sekolah Menengah sampai sekarang beliau adalah Sekretaris Dewan Dakwah Islamiyah Kabupaten Kebumen disamping Pegawai Kementeriran Agama Kabupeten Kebumen.

Secara Nasbul-Ilmi beliau termasuk murid Bapak H. Ahmad Ridwan walau tak pernah mondok secara formal tapi kemampunan dasar bahasa arabnya tak kalah dengan yang pernah mondok, itu terbukti waktu beliau kuliyah di IAIN.

Sebagai seorang modern gaya kepemimpinan beliau dalam mengelola Masjid mengutamakan secara managemen profesional, egaliter, tidak sentralistik dan mengutamakan musyawarah mufakat. Masjid dikelola secara modern karena tak ada lagi tokoh sentral sebagaimana kelola secara tradisional.

Takmir masjid periode baru ini cukup ambisius yang menghendaki bagaimana masjid sebagai pusat perubahan dan pusat peradaban, tidak sebagaimana takmir pada umumnya yang hanya mengelola fisik masjid tapi bagaimana masjid berdaya untuk bisa menjadi agen perubahan.

Masjid sebagai Pusat Peradaban
Adalah menjadi kewajiban masyarakat agar mendukung program ini karena tanpa dukungan masyarakat maka ide ini hanya akan menjadi hiasan dan angan-angan saja. Agar ide-ide tentang perubahan yang di usung oleh masyarakat masjid ini lebih berdaya maka aktifis masjid harus ikut menentukan pola anggaran pemerintah desa, karena tanpa itu masjid hanya akan menjadi lembaga exlusif yang tak punya pengaruh dimasyarakat, padahal masjid adalah diharap menjadi lembaga yang paling cerdas di tingkat desa.

Di tingkat desa, paling tidak ada 2 lembaga yang bisa merubah desa, yaitu lembaga pemerintahan Desa dan lembaga Kepengurusan masjid, yang membedakan Desa mempunyai pendanaan yang pasti dan merupakan kekuasaan formal sedangkan Lembaga Masjid tidak mempunyai pendanaan yang pasti dan kepengurusannya cenderung sebagai kegiatan sampingan.

Maka dari itu antara kepengerusan Masjid dan Pemerintahan Desa harus ada sinergi yang baik demi terbangunnya masyarakat yang sholih dan maju.      

Apalagi desa kedepan akan mendapat pendanaan yang mencukupi untuk melakukan perubahan di desa, masyarakat masjid diharap ikut cermat sejak pada tingkat musyawarah perencanaan tingkat desa (musrenbangdes), karena diharap kedepan permintaan pendanaan ke pemerintahan dari desa ke tingkat kabupaten dan propinsi tidak lagi memakai koneksi-koneksi yang mengarah kepada kolusi dan nepotisme.

Bila terbangun kerja sama yang cerdas dan cermat antara masjid dan balai desa di seluruh negeri ini maka akan terjadi perubahan sosial yang amat signifikan dan terbentuknya masyarakat yang beriman dan bertaqwa sebagai syarat turunnya barokah Alloh dari langit dan bumi bukan hal yang mustahil. ***     

Penulis : Ustadz Yunus Anies

0 komentar:



Posting Komentar