Napak Tilas Perjuangan yang Terlupakan

Perjuangan para pahlawan merupakan satu hal yang sangat penting sekali dalam proses kemerdekaan negara ini. Tanpa jasa-jasa dari mereka, tentunya kemerdekaan tidak akan terwujud. Pahlawan-pahlawan yang berjuang juga tidak hanya dari daerah pusat pemerintahan atau kota-kota besar saja, seperti: Jakarta, Semarang, Jogja, Surabaya, Bali, Aceh, dan kota-kota lain. Namun, dari pelosok-pelosok negeri yang justru dahulu menjadi pusat penyerangan penjajah. 

Kebumen adalah kota kecil yang sebenarnya memiliki andil besar dalam sejarah peperangan bangsa  Indonesia ini, di kabupaten ini, banyak sekali ditemukan monumen-monumen dan tempat-tempat yang sebenarnya sudah menunjukkan secara nyata bahwa daerah-daerah  tersebut memililiki andil besar dalam kemerdekaan yang katanya sudah diraih bangsa ini. Mengapa justru daerah-daerah ini tidak terekspos oleh sejarah??? mengapa justru daerah-daerah ini tidak ada dalam catatan buku-buku sejarah para pelajar????. Tentunya juga karena kurangnya informasi dan pengetahuan dari para penulis buku dan pemerintah Indonesia ini sendiri. Mengapa pemerintah tidak memerlihatkan kerja keras para pahlawan-pahlawan di kabupaten ini???.

Contoh yang sangat nyata adalah adanya Benteng Pertahanan Belanda yang bernama " Benteng Van Der Wijck" yang berada di Kecamatan Gombong. Orang-orang cerdas seharusnya berfikir. Mengapa di kecamatan yang jauh dari pusat pemerintahan dan cenderung terpencil berdiri sebuah Benteng Belanda yang kokoh???. Tentunya karena di daerah ini perjuangan rakyatnya sangat gigih dan memiliki andil besar dalam perjuangan. Pangeran Diponegoro, Pahlawan Nasional yang terkenal itu, juga pernah singgah untuk mengaji dan mengatur strategi di salah satu desa di kecamatan ini. Klopogodo tepatnya di dukuh Brangkal ,disinilah Pangeran Diponegoro pernah mengatur strategi untuk melawan Belanda. Dan ini juga menjadi faktor mengapa ada Benteng Pertahanan Belanja di Gombong. Karena basis penyerangan saat itu adalah di desa ini.  Jadi mengambil posisi di Gombong utara untuk membangun Benteng sangat tepat, karena pertahanan Indonesia saat itu dari sungai Kemit ke timur, sedangkan Belanda dari Sungai Kemit ke Barat. Mengapa tidak ada yang menyentuh hal ini???. Entah karena salah pemerintah atau karena minimnya informasi atau juga karena warga kebumen sendiri yang tidak peduli dengan sejarah.Atau mungkin karena ketika hal tersebut.

 Benteng Van Der Wijck

 Benteng tersebut tentunya menjadi saksi nyata, bahwa Gombong adalah daerah yang tidak boleh dilupakan oleh ingatan bangsa ini, benteng pertahanan belanda yang sangat kokoh berdiri di kota kecil yang jauh dari pusat pemerintahan.

Contoh kedua adalah tugu perjuangan di Desa Grengggeng. Tugu ini juga menjadi simbol, bahwa di wilayah kedaulatan Indonesia pada saat itu terjadi peperangan juga, Daerah basis penyerangan rakyat Indonesia pada masa itu. Bukan para pahlawan nasional, namun para rakyat-rakyat biasa dan rakyat kecil yang justru memiliki andil besar dalam kemerdekaan.

Contoh yang ketiga adalah monumen di desa Candi, Karanganyar, Kebumen. Disini juga menjadi saksi kekejaman pemerintah Belanda Pada Masa itu.Peristiwa ini juga sangat terkenal dengan nama kanonade.
Berikut rincinnya yang diambil dari ondo supriyanto. blogspot.com

Peristiwa Kanonade (1)

DESA Candi Kecamatan Karanganyar Kabupaten Kebumen menjadi saksi kekejaman pemerintah kolonial Belanda pada perang kemerdekaan RI.Pada masa agresi militer Belanda I atau yang dikenal dengan Kles I, Belanda membumihanguskan Desa Candi dengan menggunakan senjata kanon persis pada tanggal 19 Oktober 1947.

Berikut laporan tentang peristiwa yang dikenal sebagai Kanonade atau Kanon Candi yang telah terjadi 61 tahun silam.

MINGGU wage pagi, 19 Oktober 1947 berjalan seperti biasa. Sejak pagi buta pasar Desa Candi cukup ramai dipadati warga. Maklum, kondisi yang tidak memungkinkan akibat perang, Pasar Karanganyar dipindah untuk sementara ke pasar Candi. Di tengah hiruk pikuk tawar menawar di pasar tersebut, tepat pukul 07.00 sebuah desingan peluru terdengar mengalihkan perhatian.

Sedetik kemudian pasar yang penuh orang itu porak poranda akibat terjangan peluru kanon yang muntahkan dari tangsi Belanda di Gombong, sekitar tujuh kilometer dari Desa Candi. Orang-orang pun panik, berlarian untuk menyelamatkan diri. Namun tidak sendikit yang tewas terkena peluru atau serpihan peluru yang konon hanya dengan beberapa butir puluru bisa membelah sebuah pesawat.
Tidak diketahui kanon jenis apa yang dipakai pada saat itu. Namun yang jelas akibat serangan mulai dari pukul 07.00 hingga pukul 13.00 itu dimuntahkan sekitar 600 peluru dan membuat ratusan rumah rusak dan menelan korban 786 rakyat. Anak-anak menjadi yatim dan orang tua kehilangan anak-anaknya.

Medi alias Ahmad Suwito(86)adalah salah satu warga menjadi saksi hidup, bagaimana kedahsyatan serangan Belanda saat itu. Saat serangan kanon pertama Medi yang saat itu berusia 25 tahun tengah berada di gunung. Sebelumnya dia mendengar suara pesawat capung yang berputar-putar. Tidak lama kemudian dia mendengar suara ledakan dahsyat yang terdengar berasal dari arah desa.

Setelah suara ledakan mereda, sekitar pukul 09.00 dia turun pulang untuk mengungsikan ternak kambing ke gunung. Setelah berhasil membawa ternaknya, dia pun pulang kembali untuk mengambil keris pusaka. Namun sebelum dia berhasil membawa kerisnya, sekitar pukul 10.00 tiba-tiba bunyi ledakan kembali terjadi. Dia pun berlindung dengan cara tiarap. Naas tangan kanannya terkena serpihan dari ledakan peluru kanon.

"Akibatnya tangan saya terus mengeluarkan darah," ujar Medi saat menceritakan kejadian itu, kemarin.

Luka akibat terkena serpihan peluru kanon itu, kata bapak tujuh anak dan 24 cucu tersebut baru bisa sembuh setelah setahun diobatkan di Yogyakarta. Hingga saat ini bekas luka itu masih terlihat, berwarna hitam seperti bekas terbakar.

"Meski luka tapi saya masih bersyukur tidak mati karena peluru itu," ujarnya sembari menunjukkan bekas luka di tangannya.

Baniyah (78) saksi lain yang masih hidup menceritakan, saat serangan Belada ke Desa Candi, benar-benar menakutkan. Banyak orang mati di sembarang tempat. Ada pula yang baru ketemu sampai beberapa hari sebelumnya. "Bahkan setelah seminggu ada yang baru dimakamkan," kata ibu empat anak dengan 15 cucu tersebut.

Dia menuturkan, saat peristiwa itu terjadi, dia baru lulus Sekolah Rakyat (SR). Seperti penduduk yang lain, dia pun ikut bersembunyi. Bahkan yang sulit dilupakan adalah dia melihat salah satu tetangganya Mijan meninggal akibat terkena serpihan kanon. Oleh ibunya bernama Romiyah, mijan didekap sudah dalam keadaan meninggal dunia.

"Kalau ingat saat itu, saya bersyukur bisa menikmati jaman kemerdekaan yang tidak dibayang-bayangi rasa ketakutan," katanya seraya memperlihatkan bekas luka di kakinya yang terkena serpihan peluru kanon.

Ya, Medi dan Baniyah adalah dua orang saksi peristiwa yang masih hidup. Sepuluh tahun lalu masih banyak saksi mata yang masih hidup. Termasuk warga yang dalam kondisi tidak sempurna karena di tubuhnya terdapat bekas luka akibat terkena serpihan puluru kanon. Namun saat ini sebagian besar generasi 1945 sudah banyak yang meninggal, sehingga semakin sulit untuk melengkapi kisah terjadinya peristiwa yang dikenal sebagai Kanonade atau Kanoncandi.

"Anak-anak sekarang sudah tidak tahu jika dulunya Desa Candi menjadi markas para pejuang kemerdekaan," imbuh Baniyah.

Senjata kanon merupakan ukuran di atas senapan mesin. Pada perang dunia (PD) II Jerman yang mendobrak menggunakan kanon untuk mempersenjatai Me-109-nya (Rheimental dan Mauser kal 20 dan 30 mm). Negara yang menggunakan kanon dalam PD adalah Inggris(Hispano Suiza 20mm), Rusia (VYa kal 23mm dan ShVAK 20mm) dan Jepang dalam (kal 20mm) PD II.(bersambung)

Peristiwa Kanonade (2)

SENJATA kanon merupakan ukuran di atas senapan mesin. Pada perang dunia (PD) II sejumlah negara sudah menggunakan senjata jenis ini. Jerman yang mendobrak menggunakan kanon untuk mempersenjatai Me-109-nya (Rheimental dan Mauser kal 20 dan 30 mm). Negara lain yang menggunakan kanon dalam PD adalah Inggris(Hispano Suiza 20mm), Rusia (VYa kal 23mm dan ShVAK 20mm) dan Jepang dalam (kal 20mm) PD II.

Dampak ledakan peluru ini membawa dampak luar bisa. Luka akibat terkena serpihan peluru kanon itu, Medi yang kini bapak tujuh anak dan kakek 24 cucu tersebut baru bisa sembuh setelah setahun diobatkan di Yogyakarta. Hingga saat ini bekas luka itu masih terlihat, berwar
na hitam seperti bekas terbakar.

"Meski luka tapi saya masih bersyukur tidak mati karena peluru itu," ujar Medi sembari menunjukkan bekas luka di tangannya.

Baniyah (78) saksi lain yang masih hidup menceritakan, saat serangan Belanda ke Desa Candi, benar-benar menakutkan. Banyak orang mati di sembarang tempat. Ada pula yang baru ketemu sampai beberapa hari sebelumnya. "Bahkan setelah seminggu ada yang baru dimakamkan," kata ibu empat anak dengan 15 cucu tersebut.

Dia menuturkan, saat peristiwa itu terjadi, dia baru lulus Sekolah Rakyat (SR). Seperti penduduk yang lain, dia pun ikut bersembunyi. Bahkan yang sulit dilupakan adalah dia melihat salah satu tetangganya Mijan meninggal akibat terkena serpihan kanon. Oleh ibunya bernama Romiyah, mijan didekap sudah dalam keadaan meninggal dunia.

"Kalau ingat saat itu, saya bersyukur bisa menikmati jaman kemerdekaan yang tidak dibayang-bayangi rasa ketakutan," katanya seraya memperlihatkan bekas luka di kakinya yang terkena serpihan peluru kanon.

Ya, Medi dan Baniyah adalah dua orang saksi peristiwa yang masih hidup. Sepuluh tahun lalu masih banyak saksi mata yang masih hidup. Termasuk warga yang dalam kondisi tidak sempurna karena di tubuhnya terdapat bekas luka akibat terkena serpihan puluru kanon. Namun saat ini sebagian besar generasi 1945 sudah banyak yang meninggal, sehingga semakin sulit untuk melengkapi kisah terjadinya peristiwa yang dikenal sebagai Kanonade atau Kanoncandi.

Tanpa Penghuni

Kejelasan peristiwa ini baru terungkap saat Suara Merdeka menemui seorang mantan kepala Desa Candi yang menjadi saksi hidup peristiwa Kanon Candi. Tugiyo Hadi Subroto (78) adalah seorang veteran TNI yang pada masa perang kemerdekaan pernah bergabung dengan Tentara Republik Indonesia (TRI). Pertama kali dia bergabung ke TRI ditempatkan di Batalyon 28 Gentan Kentungan Yogyakarta.

Tidak lama kemudian dia ditugaskan di front Gombong. Namun saat ditarik kembali untuk bertugas yang lain dia memilih tetap bertahan untuk membela tanah leluhurnya. Tugiyo muda pun memilih keluar dari TRI dan bergabung ke Polisi Tentara (PT) dan berjuangan laskar ormas-ormas seperti AOI, Hisbullah, dan BPRI.

Saat itulah dia menyaksikan desa leluhurnya rata dengan tanah. Serangan peluru kanon oleh Belanda, kata Suwito terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama terjadi pukul 07.00. Lima menit kemudian serangan kedua sampai pukul 11.00. Jeda beberapa saat serangan ketiga berakhir pukul 13.00.

Mengapa Desa Candi yang diserang? Sebab desa candi pada waktu itu menjadi markas TRI, dapur umum, dan gudang logistik. Tentara bersatu dengan masyarakat melakukan perlawanan. Sebab saat itu, Belanda sudah menguasai Gombong. Sementara daerah pertahanan Indonesia berada di Kemit.

Sekitar pukul 06.30 pesawat capung pengintai berputar-putar di atas Desa Candi untuk memberi sinyal. Sebelumnya sekitar pukul 06.00 juga terdengar letusan senjata di selatan yakni di Puring. Pada sore hari Belanda menyerang Pertahanan. Akibat serangan itu, banyak tentara yang menjadi korban. Korban paling banyak dialami Tentara Pelajar (TP).

"Mereka masih emosional, dan masih belum tahu betul strategi berperang," tutur bapak enam putra dan kakek 13 cucu tersebut.

Sementara itu, akibat desa hancur, pada malam hari warga mengungsi di sebuah goa yang terletak di sebelah utara desa terpisah dari perkampungan. Trauma akan kejadian itu, warga takut kembali ke desa dan lebih memilih mengungsi di daerah gunung di Desa Giripurno. Selama rentang waktu setahun Desa Candi nyaris tanpa penghuni karena ditinggal warganya mengungsi.

"Senin pagi, Belanda melakukan operasi tanpa perlawanan. Sebab desa Sudah dikosongkan," imbuh suami dari Sri Wahyuni (42) tersebut.

Dia menyebutkan, selain warga Desa Candi, banyak korban berasal dari luar Candi. Sebab, orang-orang yang berada di Pasar Candi sebagian orang luar. Jasad korban sebagian tidak ditemuka karena hanyut di sungai Karanganyar. Namun yang ditemukan dikuburkan di pemakaman Sigedong.***
 

Peristiwa Kanonade (3-habis)

SERANGAN Belanda ke Desa Candi Kecamatan Karanganyar, Kebumen pada 19 Oktober 1947 sudah menjadi sejarah. Perisitiwa yang dikenal dengan sebutan Kanonade atau Kanon Candi yang menelan korban 786 rakyat tak berdosa itu menegaskan bahwa betapa kemerdekaan bangsa ini ditebus dengan darah dan air mata leluhur kita.

Banyak korban berguguran baik dari para pejuang kemerdekaan maupun rakyat jelata. Setengah abad lebih berlalu dari peristiwa itu. Para selaku sejarah sudah banyak yang meninggal. Tinggal beberapa orang saja yang masih hidup. Itu pun sudah berusia lanjut. Kalau tidak generasi sekarang, siapa lagi yang menghargai pengorbanan mereka. Ironisnya, tidak banyak generasi sekarang yang tahu sejarah perjuangan itu.

Ya, dalam pelajaran sejarah di sekolah, perjuangan rakyat Kebumen melawan penjajah memang tidak begitu dikenal. Padahal perlawanan mereka begitu heroik. Para guru tampaknya perlu menyisipkan perjuangan lokal para pejuang untuk menumbuhkan rasa nasionalisme. Bahwa orang tua mereka juga ikut memperjuangkan negeri ini.

"Hanya ada mahasiswa yang melakukan penelitian tentang sejarah penyerangan Belanda ke Desa Candi termasuk Desa Plarangan," ujar Tugiyo Hadi Subroto (78) veteran yang juga mantan Kepala Desa Candi periode 1965-1989.

Untuk mengenang korban peristiwa Kanon Candi pada tahun 1950 di kawasan pasar Candi didirikan sebuah monumen Kanonade. Minumen pertama yang dibuat oleh Tentara Pelajar (TP) itu kemudian diperbarui tahun 1985. Adapun monumen yang asli dipindahkan di balai Desa Candi. Namun tanpa pengetahuan, monumen saja tidak cukup untuk menumbuhkan rasa nasionalisme generasi muda.

"Di monumen itu dulu sering digunakan untuk malam renungan oleh Sekolah Calon Tamtama (Secata) Gombong," katanya.

Pria yang pernah bertugas di Front Semarang itu menceritakan penyerangan Belanda ke Desa Candi bisa dikatakan penyerangan yang cukup besar di Jawa Tengah pada masa Kles I. Karena di daerah lain, meski ada serangan namun jumlah korban tidak sebanyak seperti di Desa Candi yang mencapai hampir 1000 orang.

Veteran yang usai masa perang bergabung sebagai anggota TNI dan bertugas di Dinas Teknik Tentara (DTT) Semarang sampai 1965 itu menceritakan bagaimana perjuangan rakyat Kebumen melawan Belanda. Pada Kles I Gombong diduduki Belanda. Belanda juga melebarkan kekuasaanya dan tentu saja para pejuang melakukan perkawanan.

Untuk membendung Serangan Belanda pejuang membentuk pertahanan di Kemit. Di Sektor Kemit pertahanan dibagi menjadi tiga yakni di bagian selatan bermarkas di Puring yakni di Desa Sidobunder. Di bagian tengah pertahanan di Karanganyar yang diabadikan dengan Monumen Kemit. Sedangkan di wilayah utara berada Karanggayam.

Guna memperingati terjadinya pertempuran sengit antara Tentara Pelajar (TP) saat terjadinya Kles II di Desa Sidobunder terdapat monumen perjuangan. Sekitar 23 TP yang gugur di desa tersebut dan juga dari masyarakat sekitar. Banyaknya korban jatuh karena kebanyakan tentara pelajar tersebut kurang memahami peta wilayah.

"Desa Sidobunder merupakan basis pertahanan dari serangan musuh Belanda yang bermarkas di Gombong," katanya.

Dalam literatur diterangkan, pada 19 Agustus 1947 pasukan Belanda masuk ke Karanggayam melalui Randakeli. Terjadi kontak senjata antara Belanda dengan pasukan yang dipimpin Letnan Yatiman. Pada pertempuran ini Belanda kecele karena akhirnya saling tembak antara pasukan Belanda yang datang lebih awal dengan yang datang belakangan. Mereka mengira di tengah mereka masih ada pasukan Letnan Yatiman.

Dalam peristiwa itu dari pihak tentara Indonesia terdapat 23 orang yang gugur. Di antara 23 pasukan yang gugur ada seorang yang berasal dari Jepang, yang bernama Usman/kuper. Pertempuran di Karanggayam itu diabadikan dengan Monumen Purangga.

Karena terus terjadi gencatan senjata di Karanggayam, Wonoharjo, Kenteng, Sidobunder, dan Kemit, lalu diadakan gencatan senjata yang kemudian menimbulkan sebuah garis perbatasan kekuasaan yang dinamakan Status Quo.

Pada tanggal 19 Desember 1948 dimulai pukul 05.00 pagi, hari minggu Belanda kembali melakukan gencatan senjata. TNI mengetahui rencana penyerangan Belanda dari intel-intel TNI yang ada di daerah pendudukan khususnya gombong. Ternyata Belanda akan menyerang melalui timur menuju Yogyakarta. TNI yang semula berpusat di Yogyakarta menjadi terpecah. Adapun sistem perang yang digunakan adalah sistem perang gerilya yang diinstruksikan oleh Jenderal Sudirman.

"Saat Belanda akan lewat, kami melubangi jalan-jalan dengan alat tradisional. Tapi tenyata Belanda dengan mudah meratakan kembali dengan alat berat," kenangnya.

Secara logika, kata dia, sulit melawan Belanda. Dimana rentara RI hanya menggunakan senapan bekas Jepang, dan senjata seadanya. Sedangkan Belanda lengkap dengan panser yang dilengkapi senjata Kanon. Namun pada waktu itu muncul kepercayaan bahwa perjuangan Rakyat dibantu oleh ratu laut selatan.

"Makanya kami mengggunakan janur kuning untuk membedakan tentara Indonesia dengan Belanda," tuturnya.

Pada bagian lain, bagi pejuang di Gombong, kenangan yang indah adalah ketika terjadi serangan Jum’at Kliwon bulan Februari 1949. TNI melawan Belanda di daerah Kebumen dari perang yang kecil sampai perang yang besar. Pihak TNI berhasil merampas senjata Belanda.

"Pada akhir Desember 1949 Belanda meninggalkan Kebumen. Pasukan belanda yang ada di Gombong melakukan serah terima wilayah dengan TNI di simpang tiga antara Jalan Yos Sudarso dengan Jalan Sempor Lama," kata veteran yang tak pernah memperoleh uang pensiun ini.***


Dari ketiga contoh tersebut, sangat-sangat jelas, bahwa penyerangan Belanda saat itu tidak hanya di pusat pemerintahan dan kota-kota besar saja, tetapi justru paling banyak di daerah-daerah terpencil yang tidak tersentuh oleh sejarah. Semoga kita menjadi lebih bisa membuka mata untuk melihat fakta-fakta sejarah yang ada.
 

4 komentar:



Cah Gombong Kebumen mengatakan...

semoga........, negara ini, pemerintah, serta rakyar bisa lebih bsa membuka mata...

Anonim mengatakan...

Betul, P. Diponegoro singgah di Brangkal, peninggalannya berupa amben/risban pernah dibawa oleh TNI untuk dimasukkan ke museum, tapi kurang jelas museum mana.
Brangkal strategis karena ada bukit di belakangnya, bukit menthus/Igir Gadung, dari bukit tsb benteng Van der Vich kelihatan jelas. Jaraknya sekitar 3-4 km

fatwa mengatakan...

Kl ga salah jg pernah ke Jatinegara

Unknown mengatakan...

ada yang tau makam kiyai toyib abdullah brangkal ga.. konon pengikut pangeran diponegoro

Posting Komentar