GURUnya juga "MENYONTEK" ... Apalagi MURIDNYA??

       "Menyontek". Satu kata yang kita sering dengar dan dijumpai di dunia pendidikan. Lirik kanan kiri, tanya sana-sini, toleh depan toleh belakang. Corat-coret jawaban di meja, kursi, atau tangan. Bahkan ada yang "berani" menyelundupkan buku, kertas catatan kecil, atau HandPhone di laci meja. Hal-hal seperti itu sudah pasti pernah kita jumpai saat masih sekolah atau bahkan yang masih sekolah. Saya sendiri juga dulu pernah, walaupun hanya lirik kiri kanan atau sekedar memastikan kebenaran jawaban. 
        Kejadian seperti itu sering kita lihat di tiap ada ujian sekolah maupun ujian nasional.  Mungkin kita juga pernah melakukan hal seperti itu, supaya terhindar dari nilai jelek yang nanti kita peroleh. Seakan sudah menjadi tradisi para "SISWA" atau juga "MAHASISWA". Dan seakan sulit sekali dihilangkan.
Menyontek memiliki arti yang beraneka macam. Akan tetapi biasanya dihubungkan dengan kehidupan sekolah, khususnya bila ada ulangan dan ujian. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, sontek (menyontek) memiliki arti menjiplak atau mengutip tulisan dan sebagainya sebagaimana aslinya.
Faktor penyebab siswa menyontek itu bermacam-macam. Budi Swandayani, selaku guru Geografi SMA Negeri 5 Jember menjelaskan ada 3 faktor. “Kurang menguasai materi, kurang percaya diri, terlalu menggantungkan diri pada temannya” jelasnya.
Menyontek memang seakan-akan sudah menjadi perkara wajib yang harus dilaksanakan, bahkan kalau ada yang enggan untuk bekerjasama memberikan jawaban. Akan dicap tidak memiliki solidaritas. Hal itu seakan-akan sudah mendarah daging pada "SISWA" atau "MAHASISWA". Tetapi bagaimana jika hal tersebut dilakukan oleh "GURU"  atau "DOSEN" ??? Yang harusnya memberikan contoh/tauladan yang baik bagi muridnya?. 
Ya..., hal itu saya jumpai ketika mengikuti "Ujian Semester" di salah satu Perguruan Tinggi. Peserta Ujian adalah mayoritas para GURU atau PENDIDIK. Guru-guru ini, tidak lagi malu dan takut seperti halnya siswa yang kalau "menyontek" sembunyi-sembunyi supaya tidak ada yang melihat. Dengan "sengaja" mereka membawa modul atau catatan kecil, atau Handphone, atau bertanya terang-terangan kepada teman. Walaupun peserta ujian yang lain melihatnya. "Pengawas"pun seperti tidak tahu akan hal tersebut. 
Menurut informasi dari salah satu guru SMK swasta di Kebumen. Saya mendapat informasi kalau "UJIAN SERTIFIKASI"pun diwarnai dengan aksi contek-mencontek peserta ujian. Tak ada basa-basi, pengawas yang tegaspun langsung mengambil kertas jawaban dan peserta ujian itupun dinyatakan "gagal" . Hal itu jika "pengawas" tahu, tetapi kalau tidak?. Maka akan memunculkan guru-guru "SERTIFIKASI"  yang curang.  
Jika gurunya saja berbuat demikian, sudah pantaslah kalau murid-muridnya juga melakukan hal yang sama. Atau bahkan lebih parah lagi. 
Sungguh sangat "ironis" pendidikan di Indonesia ini. Padahal jika kita yakin akan kemampuan kita, belajar, dan berdo'a. Niscaya akan berhasil. Karena sukses tidaknya seseorang bukan hanya karena nilai-nilai. Tetapi lebih pada kejujuran. Ada pepatah jawa yang mengatakan "Nek jujur ajur". Hal itu sama sekali tidak benar. Tetapi "Nek jujur mujur". 
Seyogyanya para "GURU" bisa memberikan contoh yang baik siswanya. Contoh yang membawa kita pada kebahagiaan hakiki. Jika kita mengejar "materi" dengan berbuat kecurangan. Niscaya tidak akan kekal. Sesungguhnya Allah SWT-lah yang memberikan rezeki kepada kita. Jika kita berbuat curang berarti kita tidak percaya dengan Allah SWT. 
Jika kita sebagai guru, pendidik, ataupun siswa hendaklah melihat ayat dan hadist di bawah ini:
“Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 243)


          Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya kejujuran adalah sebuah kebajikan, sedangkan kebajikan akan menuntun seseorang menuju surga. Sesungguhnya seorang hamba bermaksud untuk jujur sampai ia tercatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Adapun sesungguhnya kedustaan adalah sebuah kekejian, sedangkan kekejian akan menuntun seseorang menuju neraka. Sesungguhnya seorang hamba bermaksud untuk dusta sampai ia tercatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.

     Ayat pertama menjelaskan bahwa Allah mempunyai karunia terhadap manusia, termasuk karunia pemberian rezeki. Tetapi kadang kita tidak percaya dan tidak pula bersyukur , sehingga melakukan kecurangan-kecurangan tersebut. Jika kita takut akan azab Allah dan ingat selalu hadist Nabi tersebut diatas, niscaya kita akan berfikir ulang jika jita akan "MENYONTEK". 
       Semoga corat-coter saya ini bermanfaat bagi pembaca. Semoga saya dan pembaca semua dapat menghindari hal tersebut.






0 komentar:



Posting Komentar