Saya tergerak untuk sedikit menuliskan tentang program pemerintah yang "katanya" meningkatkan kualitas pendidikan. Yaitu RSBI dan SBI. RSBI merupakan kependekan dari Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, sedangkan SBI adalah Sekolah Bertaraf Internasional. Sedikit cerita, saya dulu pernah mengenyam pendidikan di sekolah RSBI (katanya). Dahulu ketika saya disana mungkin baru awal-awal pencanangan program ini, jadi biaya pendidikan masih relatif sama dengan sekolah negeri lain yang favorit di kota saya. Saya termasuk dalam golongan keluarga sederhana, dengan pekerjaan orang tua hanya buruh. Namun sekarang kayaknya seorang anak yang cerdaspun dengan latar belakang orang tua kurang mampu, tak bisa mengenyam pendidikan di sekolah ini. Kata seorang teman yang orang tuanya petani, kalau dulu masuk sekolah yang sama, namun belum RSBI cukup dengan "pari se-gerobak" sekarang itu tak cukup dan minimal "pari se-trek" .Sungguh ironi, "katanya" pendidikan di Indonesia untuk semua, namun kenyataannya demikian.
a. RSBI, SBI, dan Anak Putus Sekolah
KEMEROSOTAN pendidikan Indonesia antara lain ditandai oleh meningkatnya jumlah anak putus sekolah usia SD. Belum lagi mereka yang tidak melanjutkan ke tingkat SMP. Penyebabnya utamanya adalah ketidakmampuan masalah biaya sekolah. Atas dasar itu, upaya pemerintah memberikan kucuran beasiswa mulai tingkat SD sampai perguruan tinggi untuk memutus rantai kemiskinan keluarga adalah salah satu upaya yang patut diapresiasi.
Di tengah maraknya anak-anak putus sekolah, justru pemerintah menggulirkan program sekolah unggulan berlabel rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI). Keberadaan dua sekolah ini dilema bagi dunia pendidikan kita. Di satu sisi pemerintah ingin membangun pendidikan unggulan, di sisi lain munculnya nuansa diskriminatif karena mahalnya biaya, berarti RSBI/SBI hanya mengakomodasi kalangan orang kaya.
Sebagaimana diketahui, biaya pendidikan di RSBI/SBI sebagian besar berasal dari orang tua siswa. Jelas anak-anak dari kalangan miskin tak akan mampu membyarnya. Ini adalah wujud pendidikan berkasta dan akan semakin meningkatkan angka anak putus sekolah. Kita bisa melihat alokasi pembiayaannya, yaitu 50% untuk sarana dan prasarana, 20% untuk pengembangan dan kesejahteraan guru, dan 10% untuk manajemen sekolah. Di sisi lain, alokasi 20% untuk siswa miskin yang mendapatkan beasiswa tidak dipenuhi RSBI/SBI (Kompas, 10/02/11).
Dari sisi kualitas, RSBI/SBI belum menunjukkan mutu yang signifikan. Kendala utamanya adalah rendahnya kualitas guru. Seolah membenarkan dugaan publik, RSBI/SBI bermotif komersial belaka. Dengan RSBI/SBI, kepala sekolah mendapatkan tambahan penghasilan berupa tunjangan atau “keuntungan” atas proyek sarana dan prasarana. Guru memperoleh tambahan penghasilan dari tambahan jam mengajar yang lebih lama dari jam belajar normal seperti pada kelas biasa (reguler).
Dampak paling mencolok dari RSBI/SBI terjadi pada sekolah yang membuka kelas RSBI/ SBI sekaligus tetap membuka kelas reguler. Kelas RSBI/SBI lebih menguntungkan sekolah, terutama dari sudut biaya yang masuk, dan siswanya pilihan. Sementara kelas regular tidak memberikan sumbangan yang berarti kepada sekolah, akhirnya kelas reguler terabaikan.
Pendidikan berkasta
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan terkait dengan RSBI/SBI yang mengacu kepada Ayat 3 Pasal 50 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Ayat tersebut mengamanatkan agar setiap daerah menyelenggarakan minimal 1 satuan pendidikan bertaraf internasional.
Padahal, implementasi dari Ayat 3 Pasal 50 dalam bentuk RSBI/SBI bertentangan dengan Ayat 1 Pasal 5 UU yang menyatakan, bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pendidikan yang bermutu, dan Ayat 1 Pasal 11 yang menyebutkan layanan pendidikan bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
UU Sisdiknas seolah-olah melegalkan pengkastaan pendidikan, mengabadikan sistem pendidikan zaman kolonial. Sesuai keputusan Raja (Belanda), 25 Sepember 1892, pendidikan rendah bagi anak-anak bumiputera dibagi dua macam. Pertama, sekolah kelas satu, yang pada 1914 menjadi Hollandsch-Inlandsche School. Sekolah untuk anak-anak tokoh masyarakat, pegawai pemerintah Hindia Belanda, dan orang-orang bumiputra terhormat lainnya. Kedua, sekolah kelas dua (de scholen der tweede klasse), untuk anak-anak bumiputera pada umumnya (M. RifaĆi: 2011).
Pembedaan sekolah ke dalam kelas-kelas menurut strata sosial menggambarkan soal kualitas dan biaya pendidikan. Persis dengan penekanan penggunaan bahasa Inggris sebagai pengantar di RSBI/SBI karena pada zaman kolonial bahasa pengantar di sekolah juga dibedakan. Sekolah untuk anak-anak Belanda menggunakan bahasa Belanda, sedangkan untuk anak-anak bumiputera di desa menggunakan bahasa daerah atau bahasa Melayu.
Sudah 65 tahun Indonesia merdeka, yang menunjukkan bahwa negara ini berdaulat. Kemerdekaan tersebut diproklamasikan dengan atas nama bangsa Indonesia, yang berarti kebebasan dan kesejahteraan untuk seluruh rakyat Indonesia. Tidak sepatutnya ada kebijakan negara membeda-bedakan di antara rakyatnya. Kebijakan RSBI dan SBI menabrak dua hal prinsip dalam pendidikan nasional, yaitu terkait pembiayaan dan kualitas. Dua hal itu menyimbolkan kastanisasi pendidikan. Seperti dilontarkan para pengamat pendidikan, untuk menghentikan RSBI/SBI, perlunya merevisi UU Sisdiknas
Seperti diberitakan oleh Kompas (7/01/11), bahwa Ayat 3 Pasal 50 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menimbulkan bayak persoalan, antara lain biaya pendidikan yang semakin tidak terjangkau oleh kalangan menegah ke bawah. Padahal, Ayat 3 Pasal 31 UUD 1945 mengamanatkan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional”, sementara pengembangan RSBI/SBI sekarang tanpa disadari menciptakan lebih dari satu sistem pendidikan nasional, bahkan menciptakan kastanisasi sekolah. Dengan demikian pasal tersebut perlu direvisi.
Memberlakukan sistem pendidikan untuk seluruh warga negara Indonesia secara adil dan merata, tidak hanya memberikan bantuan pendidikan yang kadang-kadang banyak kecurangan, merupakan upaya penyampaian amanat UUD 1945, khususnya Ayat 3 Pasal 31, sekaligus menyelamatkan anak-anak Indonesia dari putus sekolah.
b. RSBI perlu dikaji Lagi
Orangtua mulai disibukkan dengan datangnya tahun ajaran baru. Dalam 5 tahun terakhir merebak sekolah unggulan bertaraf standar sekolah internasional dari mulai tingkat SD hingga SLTA.
Sayangnya untuk masuk ke sekolah tersebut bukan hal yang mudah. Tidak hanya persyaratan soal kemampuan akademik, tetapi yang lebih dominan adalah keuangan orangtua.
Itulah sebabnya muncul sindiran jangan harap orang miskin dapat sekolah di Sekolah Berstandar Internasional (SBI) karena sekolah model ini hanyalah milik orang kaya. Sindiran ini wajar saja karena untuk dapat masuk ke SBI setidaknya harus menyiapkan uang pangkal sekitar Rp 15 juta, lain-lain sekitar Rp 5 juta. Belum lagi biaya SPP setiap bulan antara Rp 350 ribu – Rp 500 ribu.
Ini belum termasuk buku, sarana, dan peralatan sekolah yang wajib dimiliki siswa SBI.
Dari aspek ini tentunya SBI perlu dikaji lagi karena ada yang keliru dalam penerapannya, selagi dalam tahap Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI).
Ada kekeliruan yang mungkin terjadi dalam sistem pengajaran akibat kesalahan asumsi bahwa sekolah bertaraf internasional harus menggunakan pengantar bahasa Inggris dalam semua mata pelajaran. Fasilitas serba mewah misalnya ruangan ber-AC, menggunakan media pendidikan mutakhir seperti laptop, LCD, dan VCD.
Padahal menggunakan pengantar bahasa Inggris tidak selamanya cocok untuk semua mata pelajaran. Di Malaysia pengantar nahasa Inggris untuk beberapa mata pelajaran seperti matematika dan IPA akan dihapus mulai tahun depan karena dinilai menurunkan kualitas. Kabarnya mereka akan kembali menggunakan bahasa Melayu. Begitu juga di negara maju seperti Jepang, Perancis, Finlandia, Jerman, Korea, Italia.
Ini dapat dimaknai bahwa “internasionalisasi” pendidikan hendaknya tidak dipandang dari segi alat, sarana, dan fasilitasnya saja, tetapi yang utama adalah prosesnya.
Jika memandang dunia pendidikan dari fasilitasnya saja, boleh jadi akan menciptakan eklusivisme, disparsitas dan memperlebar kesenjangan sosial. Kondisi demikian kian bertolak belakang dengan UUD 1945 yang mengamanatkan pendidikan untuk kita semua, tidak membedakan si kaya dan miskin.
Entah siapa yang bisa disalahkan dalam fenomena RSBI dan SBI ini, pemerintah atau pihak sekolah. ataupun kedua-duanya.Juga entah siapa yang diuntungkan.Yang jelas fenomena ini semakin membuat carut-marutnya dunia pendidikan di Indonesia. Seakan kembali ke era penjajahan dengan pemisahan "tingkat" pendidikan.
0 komentar:
Posting Komentar