Mohammad Natsir menyebut Piagam Jakarta sebagai tonggak sejarah bagi
tercapainya cita-cita Islam di bumi Indonesia. Sayang, sehari setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan, ikhtiar umat Islam Indonesia
untuk menegakkan syariat Islam lewat Piagam Jakarta yang sebelumnya
disepakati oleh tokoh-tokoh nasional, ditelikung di tengah jalan. Natsir
menyebut penghapusan tersebut sebagai ultimatum kelompok Kristen, yang
tidak saja ditujukan kepada umat Islam, tetapi juga kepada bangsa
Indonesia yang baru 24 jam diproklamirkan. Terhadap peristiwa pahit itu,
Natsir mengatakan,” insya Allah umat Islam tidak akan lupa!”
Jakarta,
Jalan Pegangsaan 65, 17 Agustus 1945. Para aktivis dan pejuang
kemerdekaan berkumpul. Naskah proklamasi yang masih berbentuk tulisan
tangan siap dibacakan. Soekarno berdiri di depan mikropon didampingi
Mohammad Hatta, membacakan teks proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia. Rakyat menyambut gegap gempita. Menyemut di jalan-jalan
sambil meneriakkan secara serempak satu kata: Merdeka!
Tetapi
tahukah Anda? Ada peristiwa penting yang tidak diketahui oleh sebagian
orang, terutama generasi bangsa saat ini, bahwa detik-detik jelang
pembacaan naskah proklamasi, upacara dimulai dengan pembacaan UUD 1945
yang berlandaskan Piagam Jakarta. Pembacaan itu dilakukan oleh Dr
Moewardi yang kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari Ketua Panitia
Suwirjo, kemudian setelah diawali pidato singkat, barulah Soekarno
membacakan naskah proklamasi. Keterangan ini dikutip oleh Ridwan Saidi
dari buku Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditulis oleh
Sidik Kertapati.
Dan
tahukah Anda? Ketika proklamasi dibacakan, tak ada satupun tokoh
Kristen yang hadir dalam peristiwa bersejarah itu. Seharusnya, dalam
suasana kemerdekaan dan untuk menunjukkan rasa persatuan, mereka hadir
dalam acara tersebut. Ada dugaan, ketidakhadiran kelompok Kristen itu
dikarenakan keberatan mereka terhadap Piagam Jakarta yang diduga bakal
dibacakan Soekarno dalam proklamasi kemerdekaan. Sementara tokoh-tokoh
yang hadir ketika itu adalah: Mohammad Hatta, KH A Wahid Hasyim,
Abikoesno Tjokrosoejoso, Soekarjo Wirjopranoto, Soetardjo
Kartohadikoesoemo, Dr Radjiman Wedyoningrat, Soewirjo, Ny. Fatmawati,
Ny. SK Trimurti, Abdul Kadir (PETA), Daan Jahja (PETA), Latif
Hendraningrat (PETA), Dr. Sutjipto (PETA), Kemal Idris (PETA), Arifin
Abdurrahman (PETA), Singgih (PETA), Dr Moewardi, Asmara Hadi, Soediro
Soehoed Sastrokoesoemo, Djohar Noer, Soepeno, Soeroto (Pers), S.F
Mendoer (Pers), Sjahrudin (Pers).
Kenapa kalangan Kristen tak
menghadiri acara penting dan sangat bersejarah itu? Belakangan
diketahui, para aktivis Kristen itu sibuk kasak-kusuk melakukan
konsolidasi dan lobi-lobi politik untuk meminta penghapusan tujuh kata
dalam Piagam Jakarta. Kesimpulan ini didasarkan pada pernyataan Soekarno
yang mengatakan bahwa malam hari usai proklamasi kemerdekaan RI, ia
mendapat telepon dari sekelompok mahasiswa Prapatan 10, yang mengatakan
bahwa pada siang hari pukul 12.00 WIB (tanggal 17 Agustus), tiga orang
anggota PPKI asal Indonesia Timur, Dr Sam Ratulangi, Latuharhary, dan I
Gusti Ketut Pudja mendatangi asrama mereka dengan ditemani dua orang
aktivis. Kepada mahasiswa, mereka keberatan dengan isi Piagam Jakarta.
Kalimat dalam Piagam Jakarta, bagi mereka sangat menusuk perasaan
golongan Kristen.
Latuharhary sengaja mengajak Dr Sam Ratulangi, I
Gusti Ktut Pudja, dan dua orang aktivis asal Kalimantan Timur, agar
seolah-olah suara mereka mewakili masyarakat Indonesia wilayah Timur.
Mereka juga sengaja melempar isu ini ke kelompok mahasiswa yang memang
mempunyai kekuatan menekan, dan berharap isu ini juga menjadi
tanggungjawab mahasiswa.
Mahasiswa lalu menghubungi Hatta, yang
kemudian mengundang para mahasiswa untuk datang menemuinya pukul 17.00
WIB. Hadir dalam pertemuan itu aktivis Prapatan 10, Piet Mamahit, dan
Imam Slamet. Setelah berdialog, Hatta kemudian menyetujui usul perubahan
tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Setelah dari Hatta, malam itu juga
para mahasiswa menelepon Soekarno untuk menyatakan keberatan dari tokoh
Kristen Indonesia Timur.
Singkat kata, keesokan harinya Soekarno
dan Hatta mengadakan rapat dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia di Pejambon Jakarta. Agenda sidang dibatasi hanya membahas
perubahan penting dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 45. Rapat yang
diagendakan berlangsung pukul 09.30 WIB mundur menjadi pukul 11.30 WIB.
Belakangan diketahui, mulur-nya rapat tersebut disebabkan terjadinya
perdebatan yang sengit dalam lobi-lobi yang dilakukan untuk menghapus
tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Lobi-lobi yang digagas Hatta terjadi
antara Kasman Singodimejo, Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Muhammad Hassan,
dan KH A Wahid Hasyim. Pertemuan dengan Hatta berlangsung sengit dan
tegang.
Saking sengit dan tegangnya pertemuan itu, sampai-sampai
Soekarno memilih tak melibatkan diri dalam lobi tersebut. Soekarno
terkesan menghindar dan canggung dengan kegigihan Ki Bagus Hadikusumo,
Ketua Umum Muhammadiyah ketika itu, dalam mempertahankan seluruh
kesepakatan Piagam Jakarta. Soekarno kemudian hanya mengirim seorang
utusan untuk turut dalam lobi yang bernama Teuku Muhammad Hassan.
Seperti
dikutip dalam buku R.M.A.B Kusuma, “Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945:
Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2
Persiapan Kemerdekaan”, Ki Bagus Hadikusumo bahkan lebih tegas lagi
meminta kata-kata ”bagi pemeluk-pemeluknya” ditiadakan, sehingga
berbunyi: “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.” Artinya, dalam
pandangan Ki Bagus, syariat Islam harus berlaku secara umum di
Indonesia.
Lobi yang berlangsung sengit tak juga meluluhkan
pendirian Ki Bagus Hadikusumo. Lobi-lobi dan bujukan dari utusan
Soekarno Teuku Muhammad Hassan dan tokoh sekaliber KH A Wahid Hasyim pun
tak mampu mengubah pendiriannya. Di sinilah peran Kasman Singodimejo
yang sesama orang Muhammadiyah, melakukan pendekatan secara personal
dengan Ki Bagus.
Dalam memoirnya yang berjudul ‘Hidup Adalah
Perjuangan’, Kasman menceritakan aksinya melobi Ki Bagus. Dengan bahasa
Jawa yang sangat halus, ia mengatakan kepada Ki Bagus:
“Kiai,
kemarin proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari ini harus
cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar sebagai dasar kita bernegara,
dan masih harus ditetapkan siapa presiden dan lain sebagainya untuk
melancarkan perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia,
terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?! Kiai, sekarang
ini bangsa Indonesia kejepit di antara yang tongol-tongol dan yang
tingil-tingil. Yang tongol-tongol ialah balatentara Dai Nippon yang
masih berada di bumi Indonesia dengan persenjataan modern. Adapun yang
tingil-tingil (yang mau masuk kembali ke Indonesia, pen) adalah sekutu
termasuk di dalamnya Belanda, yaitu dengan persenjataan yang modern
juga. Jika kita cekcok, kita pasti akan konyol. Kiai, di dalam rancangan
Undang-undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan hari ini tercantum
satu pasal yang menyatakan bahwa 6 bulan lagi nanti kita dapat adakan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, justru untuk membuat Undang-Undang Dasar
yang sempurna. Rancangan yang sekarang ini adalah rancangan
Undang-undang Dasar darurat. Belum ada waktu untuk membikin yang
sempurna atau memuaskan semua pihak, apalagi di dalam kondisi kejepit!
Kiai, tidakkah bijaksanaan jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang
mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud
demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia
Merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur, tenang tenteram,
diridhai Allah SWT.” (Hidup Adalah Perjuangan, 75 Tahun Kasman
Singodimejo, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1982).
Kepada Ki Bagus
Kasman juga menjelaskan perubahan yang diusulkan oleh Hatta, bahwa kata
”Ketuhanan” ditambah dengan ”Ketuhanan Yang Maha Esa.” KH A Wahid Hasyim
dan Teuku Muhammad Hassan yang ikut dalam lobi itu menganggap Ketuhanan
Yang Maha Esa adalah Allah SWT, bukan yang lainnya. Kasman menjelaskan,
Ketuhanan Yang Maha Esa menentukan arti Ketuhanan dalam Pancasila.
“Sekali lagi bukan Ketuhanan sembarang Ketuhanan, tetapi yang dikenal
Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,” kata Kasman meyakinkan Ki
Bagus.
Kasman juga menjelaskan kepada Ki Bagus soal janji
Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk membuat undang-undang yang sempurna. Di
sanalah nanti kelompok Islam bisa kembali mengajukan gagasan-gagasan
Islam. Soekarno ketika itu mengatakan, bahwa perubahan ini adalah
Undang-undang Dasar sementara, Undang-undang Dasar kilat. “Nanti kalau
kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu
akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat
membuat Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna,” kata Soekarno.
Para
tokoh Islam saat itu menganggap ucapan Soekarno sebagai ‘janji’ yang
harus ditagih. Apalagi, ucapan Soekarno itulah setidaknya yang membuat
Ki Bagus merasa masih ada harapan untuk memasukan ajaran-ajaran Islam
dalam Undang-undang yang lengkap dan tetap nantinya.”Hanya dengan
kepastian dan jaminan 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 itu akan
dibentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis pembuat
Undang-undang Dasar Negara guna memasukkan materi Islam itu ke dalam
undang-undang dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo itu
untuk menanti,” kenang Kasman dalam memoirnya.
Selain itu soal
jaminan di atas, tokoh-tokoh Islam juga dihadapkan pada suatu situasi
terjepit dan sulit, dimana kalangan sekular selalu mengatakan bahwa
kemerdekaan yang sudah diproklamasikan membutuhkan persatuan yang kokoh.
Inilah yang disebut Kasman dalam memoirnya bahwa kalangan sekular
pintar memanfaatkan momen psikologis, di mana bangsa ini butuh
persatuan, sehingga segala yang berpotensi memicu perpecahan harus
diminimalisir. Dan yang perlu dicatat, tokoh-tokoh Islam yang dari awal
menginginkan negeri ini merdeka dan bersatu, saat itu begitu legowo
untuk tidak memaksakan kehendaknya mempertahankan tujuh kata tersebut,
meskipun begitu pahit rasanya hingga saat ini. Sementara kalangan
sekular-Kristen yang minoritas selalu membuat aksi politik yang
memaksakan kehendak mereka.
Alkhulasah,
dalam hitungan kurang dari 15 menit seperti diceritakan oleh Hatta,
tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapus. Setelah itu Hatta masuk ke
dalam ruang sidang Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan
membacakan empat perubahan dari hasil lobi tersebut. Berikut hasil
perubahan kemudian disepakati sebagai preambule dan batang tubuh UUD1945 yang saat ini biasa disebut dengan UUD 45:
- Pertama, kata “Mukaddimah” yang berasal dari bahasa Arab, muqaddimah, diganti dengan kata “Pembukaan”.
- Kedua, anak kalimat Piagam Jakarta yang menjadi pembukaan UUD, diganti dengan,” negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Ketiga, kalimat yang menyebutkan presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam seperti tertulis dalam pasal 6 ayat 1, diganti dengan mencoret kata-kata “dan beragama Islam”.
- Keempat, terkait perubuahan poin kedua, maka pasal 29 ayat 1 berbunyi, “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai ganti dari, “Negara berdasarkan atas Ketuhan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya.”
- Kedua, anak kalimat Piagam Jakarta yang menjadi pembukaan UUD, diganti dengan,” negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Ketiga, kalimat yang menyebutkan presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam seperti tertulis dalam pasal 6 ayat 1, diganti dengan mencoret kata-kata “dan beragama Islam”.
- Keempat, terkait perubuahan poin kedua, maka pasal 29 ayat 1 berbunyi, “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai ganti dari, “Negara berdasarkan atas Ketuhan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya.”
Inilah
musibah terbesar bagi umat Islam di negeri ini. Ketua Umum Masyumi,
Prawoto Mangkusasmito dengan sedih dan perih mengatakan, ”Piagam Jakarta
yang diperdapat dengan susah payah, dengan memeras otak dan tenaga
berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka bangsa ini, kemudian di dalam
rapat ”Panitia Persiapan Kemerdekan” pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam
beberapa menit saja dapat diubah? Apa, apa, apa sebabnya? Kekuatan
apakah yang mendorong dari belakang hingga perubahan itu terjadi?”
Selain
Prawoto, tokoh Masyumi lainnya seperti KH M. Isa Anshari dan Mohammad
Natsir juga merasakan keperihan serupa. Isa Anshari menyebut peristiwa
itu sebagai kejadian yang mencolok mata, yang dirasakan seperti
”permainan sulap” dan pat-gulipat politik yang diliputi kabut rahasia.
Sementara Natsir mengatakan, penghapusan tujuh kata tersebut sebagai
ultimatum kelompok Kristen, yang tidak saja ditujukan kepada umat Islam,
tetapi juga kepada bangsa Indonesia yang baru 24 jam diproklamirkan.
Natsir menegaskan, peristiwa tanggal 18 Agustus 1945 adalah peristiwa
sejarah yang tak bisa dilupakan. ”Menyambut proklamasi tanggal 17
Agustus kita bertahmid. Menyambut hari besoknya, tanggal 18 Agustus,
kita istighfar. Insya Allah umat Islam tidak akan lupa,” kata Natsir.
Siapa
orang yang paling bertanggungjawab dalam penghapusan tujuh kata
tersebut? R.M.A.B Kusuma dalam buku Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945:
Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2
Persiapan Kemerdekaan (Jakarta: Badan Penerbit PH-UI, 2004)
mengatakan, ”Bung Hatta adalah orang yang paling bertanggungjawab
terhapuskannya ”tujuh kata” dari Piagam Jakarta. Beliau konsisten
mengikuti ajaran yang dianutnya. Beliau menghapus ”tujuh kata” tanpa
berunding dengan tokoh-tokoh Islam yang menyusun ”perjanjian luhur”
Piagam Jakarta, yakni: K.H Wachid Hasjim, K.H Kahar Muzakkir, H. Agus
Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso. Beliau hanya berunding dengan Ki Bagus
Hadikusumo yang bukan penyusun Piagam Jakarta dengan janji bahwa hal
itu akan dibahas lagi di sidang MPR yang akan dibentuk. Pertimbangan
beliau hanya didasarkan pada pendapat orang Jepang yang mengaku utusan
dari Indonesia Timur. Beliau tidak menyatakan berunding dengan utusan
Indonesia Timur yang resmi, yakni D.G Ratulangie, M.r J. Latuharhary,
Andi Pangeran Petta Rani, Andi Sultan Daeng Raja, dan Mr Ketut Pudja.”
Dalam
buku tersebut Kusuma juga mengatakan, ikhtiar penghapusan tujuh kata
dalam Piagam Jakarta yang dilakukan Hatta, yang mengaku mendapat desakan
dari kelompok Kristen di Indonesia Timur, tak lain makin memperlihatkan
sikap dan keyakinan politik Hatta yang sekular, yang berusaha
memisahkan ”urusan agama” dan ”urusan negara”. Hatta, kata Kusuma,
bahkan tidak pernah mengucapkan kata-kata yang identik dengan Islam,
seperti Allah Subhana wa Ta’ala, Alhamdulillah, dan sebagainya.
Kusuma
juga menuliskan keterangan yang berbeda dengan buku-buku sejarah dan
pernyataan Kaman Singodimejo yang menyebut KH A Wahid Hasyim ikut dalam
lobi untuk menghapuskan tujuh kata tersebut. Kusuma mengatakan, saat
lobi terjadi KH A Wahid Hasyim sedang berpergian ke Surabaya.
”Keterangan Bung Hatta bahwa pada tanggal 18 Agustus 1945 beliau telah
berunding dengan KH A Wahid Hasyim tidak sesuai dengan kenyataan,” tegas
Kusuma. Selain itu, tokoh Masyumi Prawoto Mangkusasmito juga
menyangsikan kehadiran KH A Wahid Hasyim dalam lobi tersebut.
Kronologis penghapusan 7 kata versi Hatta
Sikap
Hatta yang mengambil ikhtiar sendiri melakukan lobi-lobi politik dengan
tokoh-tokoh yang bukan penandantangan Piagam Jakarta juga dipertanyakan
dengan keras oleh KH Isa Anshari,
”Benarkah langkah Hatta
tersebut dilakukan atas keberatan kalangan Kristen dari Indonesia bagian
Timur sebagaimana disampaikan melalui opsir Kaigun (Angkatan Laut
Jepang)? Tapi kenapa Hatta sendiri tidak melibatkan A.A Maramis yang
Kristen dan menjadi salah satu penandatangan Piagam Jakarta, juga tidak
mengajak serta minta persetujuan K.H Wachid Hasyim dan H. Agus Salim
yang juga penandatangan Piagam Jakarta yang mewakili kalangan Islam?
Kenapa Hatta malah melobi Ki Bagus Hadikusumo yang tidak menjadi
penandatangan Piagam Jakarta?
Untuk menepis segala tudingan itu,
belakangan Hatta menceritakan kronologis peristiwa penghapusan tujuh
kata tersebut dalam buku Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia:
”Pada
sore hari (Tanggal 17 Agustus 1945) aku menerima telepon dari Tuan
Nishijima, pembantu Admiral Maeda menanyakan dapatkah aku menerima
seorang Opsir Kaigun (Angkatan Laut) karena ia mau mengemukakan suatu
hal yang sangat penting bagi Indonesia. Nishijima sendiri akan menjadi
juru bahasanya. Aku persilahkan mereka datang. Opsir itu, yang aku lupa
namanya, datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan sungguh,
bahwa wakil Protestan dan Katholik, yang dikuasai oleh Angkatan Laut
Jepang berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat pembukaan
Undang-undang Dasar yang berbunyi: Kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya.
Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu
tidak mengikat mereka, hanya mengikat rakyat yang beragama Islam.
Tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu dalam suatu dasar yang menjadi
pokok Undang-Undang Dasar, berarti mengadakan diskriminasi terhadap
mereka golongan minoritas. Jika ”diskriminasi” itu ditetapkan juga,
mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia…
Opsir tadi
mengatakan, bahwa itu adalah pendirian dan perasaan pemimpin-pemimpin
Protestan dan Katolik dalam daerah pendudukan Kaigun. Mungkin waktu itu
Mr AA Maramis cuma memikirkan, bahwa bagian kalimat itu hanya untuk
Rakyat Islam yang 90% jumlahnya dan tidak mengikat rakyat Indonesia yang
beragama lain. Ia tidak merasakan bahwa penetapan itu adalah suatu
diskriminasi…
Karena Opsir Angkatan laut Jepang itu
sungguh-sungguh menyukai Indonesia merdeka yang bersatu sambil
mengingatkan pula kepada semboyan yang selama ini didengung-dengungkan
”Bersatu kita teguh dan berpecah kita jatuh”, perkataannya itu
berpengaruh juga atas pandanganku. Tergambar di mukaku perjuanganku yang
lebih dari 25 tahun lamanya, dengan melalui bui dan pembuangan, untuk
mencapai Indonesia merdeka, bersatu dan tidak berbagi-bagi. Apakah
Indonesia merdeka yang baru saja dibentuk akan pecah kembali dan mungkin
terjajah lagi karena suatu hal yang sebenarnya dapat diatasi? Kalau
Indonesia pecah, pasti daerah di luar Jawa dan Sumatra akan dikuasai
kembali oleh Belanda dengan menjalankan politik divide et impera,
politik memecah dan menguasa. Setelah aku terdiam sebentar, kukatakan
kepadanya, bahwa esok hari dalam sidang panitia persiapan kemerdekaan
akan ku kemukakan masalah yang sangat penting itu. Aku minta ia
menyabarkan sementara pemimpin Kristen yang berhati panas dan berkeras
kepala itu, supaya mereka jangan terpengaruh oleh propaganda Belanda…”
Benarkah
keterangan Hatta yang mengatakan ada opsir Jepang, yang datang membawa
pesan penting dari kelompok Kristen di Indonesia Timur? Kenapa pesan dan
peristiwa penting dalam pertemuan Hatta dengan opsir Jepang itu
memunculkan pengakuan Hatta yang sangat naif bahwa dirinya lupa tentang
nama opsir tersebut? Sebuah logika sederhana akan mengatakan, jika ada
seorang yang membawa pesan penting, apalagi ini menyangkut masalah
bangsa dan akan mempengaruhi sejarah bangsa ke depan, tentu Anda akan
bertanya nama dari pembawa pesan tersebut. Sebagai sebuah bukti adanya
pertemuan itu, seharusnya Hatta mencatat nama Opsir Jepang itu!
Karena
Hatta mengaku lupa nama Opsir itu, padahal peristiwa sejarah yang
sangat penting membutuhkan detil peristiwa yang valid, maka tak heran
jika ada yang meragukan keterangan Hatta soal opsir Jepang itu?
Menurut
Ridwan Saidi, seperti dikutip dari Dr Sujono Martosewojo dkk, dalam
buku ”Mahasiswa ’45 Prapatan 10”, anggapan bahwa ada opsir Jepang yang
datang ke rumah Hatta pada petang hari tanggal 18 Agustus 1945
kemungkinan karena kesalahpahaman saja. Iman Slamet, mahasiswa
kedokteran yang menemani Piet Mamahit menemui Hatta memang berpostur
tinggi, rambut pendek, mata sipit, dan suka berpakaian putih-putih. Iman
Slamet inilah yang kemungkinan dikira sebagai opsir Jepang oleh Hatta.
Seperti
ditulis di atas, bahwa Dr Sam Ratulangi mendatangi kelompok mahasiswa
Prapatan pada pukul 12.00, tanggal 17 Agustus 1945, dan meminta mereka
untuk terlibat dalam usaha penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.
Kemudian mahasiswa itu menghubungi Hatta, dan Hatta mengatur pertemuan
pada sore harinya, maka keterangan Hatta soal adanya pertemuan dengan
opsir Jepang, yang ia lupa namanya, diragukan. Karena itu dalam sebuah
diskusi tentang Piagam Jakarta, Ridwan Saidi mengatakan, ”dengan segala
hormat saya pada Bung Hatta, dia seorang yang bersahaja, tapi dalam
kasus Piagam Jakarta saya harus mengatakan bahwa dia berdusta.”
Penelitian
Ridwan Saidi dikuatkan dengan sebuah buku yang diterbitkan di Cornell
University AS, yang mengatakan bahwa dalang di balik sosok misterius
opsir Jepang itu adalah Dr Sam Ratulangi, yang disebut dalam buku itu
sebagai an astute Christian politician from Manado, North Sulawesi (Seorang politisi Kristen yang licik dari Sulawesi Utara).
Umat
Islam dan bangsa ini sampai saat ini masih menyimpan pertanyaan besar,
kenapa Hatta memilih berunding dengan tokoh-tokoh Islam yang bukan
penandatangan Piagam Jakarta? Kenapa pula Hatta tidak berunding dengan
tokoh Kristen penandantangan Piagam Jakarta, dan lebih memilih
mendengarkan ”pesan” yang menurutnya disampaikan opsir Jepang tersebut?
Selubung kabut sejarah ini harus diungkap, demi sebuah kejujuran
sejarah, demi kebenaran sesungguhnya!
Kisah Kasman Singodimejo dan Terhapusnya Piagam Jakarta
Seperti
diceritakan di atas, karena lobi personal ala Kasman Singodimejo yang
diminta untuk melunakkan hati Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum PP
Muhammadiyah saat itu yang tetap keukeuh dengan tujuh kata dalam Piagam
Jakarta, diktum soal kewajiban menjalankan syariat Islam dihapuskan.
Kasman,
seperti ditulis dalam memoirnya mengatakan, sikap itu diambil karena
tokoh-tokoh saat itu tidak mau negeri yang baru saja diproklamirkan
kemerdekaannya pecah karena perdebatan soal tujuh kata dalam Piagam
Jakarta. Apalagi, ada konsesi, tujuh kata itu diganti dengan ”Ketuhanan
Yang Maha Esa”, yang dalam pengertian Kasman identik dengan Islam.
Dalam
memoirnya Hidup Adalah Perjuangan: 75 Tahun Kasman Singodimejo, ia
menceritakan, kedatangannya ke Gedung Pejambon Jakarta dan diminta
sebagai anggota tambahan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah
atas permintaan Soekarno. Padahal, ketika itu ia sedang bertugas di Jawa
barat. Sebagai Panglima Tentara saat itu, ia ditugaskan mengamankan
senjata dan mesiu untuk tidak jatuh ke tangan Jepang
Setelah
sukses melobi Ki Bagus Hadikusumo dan rapat memutuskan penghapusan tujuh
kata dalam Piagam Jakarta tersebut, malam harinya Kasman gelisah tak
bisa tidur. Kepada keluarganya ia tak bicara, diam membisu:
”Alangkah
terkejut saya waktu mendapat laporan dari Cudhanco Latief
Hendraningrat, bahwa balatentara Dai Nippon telah mengepung Daidan, dan
kemudian merampas semua senjata dan mesiu yang ada di Daidan.Selesai
laporan, maka Latief Hendraningrat hanya dapat menangis seperti anak
kecil, dan menyerahkan diri kepada saya untuk dihukum atau diampuni.
Nota bene, Latief sebelum itu, bahkan sebelum memberi laporannya telah
meminta maaf terlebih dahulu.
Ya apa mau dibuat! Saya pun tak
dapat berbuat apa-apa. Saya mencari kesalah pada diri saya sendiri
sebelum menunjuk orang lain bersalah. Ini adalah pelajaran Islam. Memang
saya ada bersalah, mengapa saya sebagai militer kok ikut-ikutan
berpolitik dengan memenuhi panggilan Bung Karno!?
….malamnya
tanggal (18 Agustus malam menjelang 19 Agustus 1945) itu sengaja saya
membisu. Kepada keluargapun saya tidak banyak bicara, sayapun lelah,
letih sekali hari itu, lagi pula kesal di hati. Siapa yang harus saya
marahi?”
Kasman mengatakan, ada dua kehilangan besar dalam
sejarah bangsa ini ketika itu. Pertama, penghapusan tujuh kata dalam
Piagam Jakarta yang menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia. Kedua, hilangnya sejumlah senjata dan lain-lainnya yang
sangat vital pada waktu itu.
Kasman menyadari dirinya terlalu
praktis dan tidak berpikir jauh dalam memandang Piagam Jakarta. Ia hanya
terbuai dengan janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi
akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan dapat
memperbaiki kembali semua itu. Padahal dalam waktu enam bulan, mustahil
untuk melakukan sidang perubahan di tengah kondisi yang masih bergolak.
Meski Kasman telah mengambil langkah keliru, namun niat di hatinya
sesungguhnya sangat baik, ingin bangsa ini bersatu. “Sayalah yang
bertanggung jawab dalam masalalah ini, dan semoga Allah mengampuni dosa
saya,” kata Kasman sambil menetaskan air mata, seperti diceritakan tokoh
Muhammadiyah Lukman Harun, saat Kasman mengulang cerita peristiwa
tanggal 18 Agustus itu.
Seolah ingin mengobati rasa bersalah
penyesalannya pada peristiwa 18 Agustus 1945, pada sidang di Majelis
Konstituante 2 Desember 1957, Kasman tak lagi sekadar menjadi
“Singodimejo” tetapi berubah menjadi “Singa di Podium” yang menuntut
kembalinya tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan menolak Pancasila sebagai
dasar negara.
Berikut kutipan pidatonya:
“Saudara ketua,
satu-satunya tempat yang tepat untuk menetapkan Undang-undang Dasar yang
tetap dan untuk menentukan dasar negara yang tent-tentu itu ialah Dewan
Kosntituante ini! Justru itulah yang menjadi way out daripada
pertempuran sengit di dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang
telah pula saya singgung dalam pidato saya dalam pandangan umum babak
pertama.
Saudara ketua, saya masih ingat, bagaimana ngototnya
almarhum Ki Bagus Hadikusumo Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah yang
pada waktu itu sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
mempertahankan agama Islam untuk dimasukkan dalam muqoddimah dan
Undang-undang Dasar 1945. Begitu ngotot saudara ketua, sehingga Bung
Karno dan Bung Hatta menyuruh Mr T.M Hassan sebagai putera Aceh
menyantuni Ki Bagus Hadikusumo guna menentramkannya. Hanya dengan
kepastian dan jaminan bahwa 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 kita akan
bentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat
Undang-undang Dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo
untuk menanti.
Saudara ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagus
Hadikusumo itu telah meninggalkan kita untuk selama-lamannya, karena
telah berpulang ke rakhmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya,
bukan menanti 6 bulan seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau
menanti, ya menanti sampai dengan wafatnya…
Gentlement agreement
itu sama sekali tidak bisa dipisahkan daripada “janji” yang telah
diikrarkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia kepada kami
golongan Islam yang berada dalam panitia tersebut. Di dalam hal ini
Dewan Konstituante yang terhormat dapat memanggil Mr. T.M Hassan, Bung
Karno dan Bung Hatta sebagai saksi mutlak yang masih hidup guna
mempersaksikan kebenaran uraian saya ini….
Saudara ketua, di mana
lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang terhormat ini, saudara
ketua, dimanakah kami golongan Islam menuntut penunaian “janji” tadi
itu? Di mana lagi tempatnya? Apakah Prof. Mr Soehardi mau memaksa kita
mengadakan revolusi? Saya persilakan saudara Prof Mr. Soehardi menjawab
pertanyaan saya ini secara tegas! Silakan!
Saudara ketua, jikalau dulu pada tanggal 18 Agustus 1945 kami golongan Islam telah difait-a complikan
dengan suatu janji dan/atau harapan dengan menantikan waktu 6 bulan,
menantikan suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat
Undang-undang Dasar yang baru dan yang permanen, saudara ketua,
janganlah kami golongan Islam di Dewan Konstituante sekarang ini difait-a complikan
lagi dengan anggapan-anggapan semacam: Undang-undang Dasar Sementara
dan Dasar Negara tidak boleh dirubah, tidak boleh diganti, tidak boleh
diganggu gugat! Sebab fait-a compli semacam itu sekali ini, saudara ketua, hanya akan memaksa dada meledak!”
Pidato
Kasman di Sidang Konstituante yang sangat berapi-api mengusulkan Islam
sebagai dasar negara sungguh sebuah penebusan kesalahan yang sangat luar
biasa. Dalam pidato tersebut, Kasman secara detil mengemukakan
alasan-alasannya mengapa Islam layak dijadikan dasar negara, dan
mempersilakan golongan lain untuk mengemukakan alasan-alasannya terhadap
Pancasila.
Bagi Kasman, Islam adalah sumber mata air yang tak
pernah kering dan tak akan ada habisnya untuk digunakan sebagai dasar
dari NKRI ini, jika negara ini dilandaskan pada Islam. Sedangkan
Pancasila yang dijadikan dasar negara tak lebih seperti “air dalam
tempayan”, yang diambil diangsur, digali dari “mata air” atau sumber
yang universal itu, yaitu Islam.
Kasman mengatakan, “Ada yang
mengira, si penemu—katakan kalau mau, “si penggali,” air dalam tempayan
itu adalah sakti mandra guna, dianggapnya hampir-hampir seperti nabi
atau lebih daripada itu, dan tidak dapat diganggu gugat. Sedang air
dalam tempayan itu, lama kelamaan, secara tidak terasa mungkin,
dianggapnya sebagai air yang keramat, ya sebagai supergeloof yang tidak
dapat dibahas dengan akal manusia, dan yang tidak boleh didiskusikan
lagi di Konstituante sini. Masya Allah!”
Dekrit Presiden dan Status Piagam Jakarta
Perdebatan
dalam Sidang Majelis Konstituante memang berjalan sengit. Inilah sidang
yang memakan waktu cukup lama, dari tahun 1956 sampai dengan
1959.Masing-masing kelompok tanpa tedeng aling-aling mengemukakan
gagasan-gagasannya. Mohammad Natsir menyebut suasana saat itu dengan
istilah masa-masa konfrontasi dalam suasana toleransi.
Kelompok
Islam dimotori oleh M Natsir, Hamka, Kasman Singodimejo, dan lain-lain,
serta para tokoh NU, sepakat mengajukan Islam sebagai dasar negara.
Kelompok Islam mempersilakan kelompok lain untuk menyampaikan gagasannya
secara terbuka, jika memang mereka mempunyai konsep yang jelas soal
kenegaraan.
Pada 22 April 1959, Soekarno yang menganggap sidang
konstituante terlalu bertele-tele dan alot. Ia kemudian menyampaikan
pidato berjudul “Res Publica, Sekali Lagi Res Publica” di Majelis
Konstituante yang meminta para anggota majelis untuk segera kembali
kepada UUD 1945, seperti yang dirumuskan pada 18 Agustus 1945.
Kemudian
pada 2 Juni 1959 majelis mengadakan pemungutuan suara dalam rangka
kembali ke UUD 45, dengan dua pilihan yang diajukan: Pertama, kembali
kepada UUD 1945 seperti dirumuskan pada 18 Agustus 1945. Kedua, kembali
pada UUD 1945 dengan memasukkan anak kalimat Piagam Jakarta ke dalamnya.
Voting itu menghasilkan 263 suara setuju kembali ke UUD 1945 seperti
dirumuskan tanggal 18 Agustus 1945 dan 203 mendukung UUD 1945 yang di
dalamnya berisi tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang mewajibkan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Karena pemungutan suara tidak menghasilkan pemenang mutlak, maka Soekarno melakukan langkah drastis dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi pembubaran konstituante dan menetapkan berlakunya UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta 22 Juni 1945, yang ia sebut sebagai rangkaian kesatuan dengan konstitusi.
Karena pemungutan suara tidak menghasilkan pemenang mutlak, maka Soekarno melakukan langkah drastis dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi pembubaran konstituante dan menetapkan berlakunya UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta 22 Juni 1945, yang ia sebut sebagai rangkaian kesatuan dengan konstitusi.
Dekrit dirumuskan di Istana Bogor, pada 4 Juli 1959,
dan dibacakan di Istana Merdeka, Jakarta, pada Ahad 5 Juli 1959, pukul
17.00 WIB dengan isi sebagai berikut:
DEKRIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI
ANGKATAN PERANG
TENTANG
KEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945
ANGKATAN PERANG
TENTANG
KEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI
ANGKATAN PERANG
ANGKATAN PERANG
Dengan ini menyatakan dengan khidmat;
Bahwa
anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang
Dasar 1945, yang disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan
Amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan
dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar
Sementara;
Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian besar
anggota Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi
sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang
dipercayakan oleh rakyat kepadanya.
Bahwa hal yang demikian
menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan
keselamatan negara, nusa dan bangsa, serta merintangi pembangunan
semesta untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.
Bahwa dengan
dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan
kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan negara proklamasi.
Bahwa kami berkeyakinan bahwa
Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945
dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi
tersebut.
Maka atas dasar-dasar tersebut di atas
Maka atas dasar-dasar tersebut di atas
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/
PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG
PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG
Menetapkan pembubaran Konstituante;
Menetapkan
Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan
dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara.
Pembentukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas
anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan utusan-utusan daerah dan
golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung sementara,
akan diselenggaerakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1959
Atas nama rakyat Indonesia
Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang
Soekarno.
Atas nama rakyat Indonesia
Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang
Soekarno.
Profesor
A Sanusi, seperti dikutip Endang Saifudin Anshari, mengatakan bahwa
Piagam Jakarta yang disebut dalam dekrit 5 Juli 1959 adalah kembalinya gentlement agreement
dalam rangka persatuan dan perjuangan nasional. Karena itu posisi
Piagam Jakarta senapas dengan konstitusi 1945. Sanusi mengatakan kata
“menjiwai” dalam dekrit tersebut berarti memberi jiwa. Sedang memberi
jiwa berarti memberi kekuatan. Kata “menjiwai” yang kemudian
dirangkaikan dengan kata-kata “Suatu rangkaian kesatuan” menunjukan
bahwa Piagam Jakarta merupakan satu rangkaian yang tak terpisah dengan
UUD 1945.
Profesor Notonagoro, seorang ahli yang banyak melakukan
penelitian tentang Pancasila mengatakan, pengakuan tentang Piagam
Jakarta dalam dekrit itu berarti pengakuan akan pengaruhnya dalam UUD
1945, tidak hanya pengaruh terhadap pasal 29, pasal yang harus menjadi
dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan.
Dengan demikian,
perkataan “Ketuhanan” dalam pembukaan UUD 1945 bisa berarti “Ketuhanan
dengan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syariatnya”, sehingga
atas dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan atau peraturan
pemerintah lain. Dengan syariat Islam, ketetapan pasal 29 ayat 1 tetap
berlaku bagi agama lain untuk mendasarkan aktivitas keagamaanya
KH. Saifuddin Zuhri, dalam sebuah peringatan 18 tahun Piagam Jakarta, mengatakan,
“Setelah
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka hapuslah segala selisih dan sengketa
mengenai kedudukan yang legal daripada Piagam Jakarta 22 Juni 1945.
Piagam yang pernah menjadi pengobar dan bebuka Revolusi Nasional kita
itu tegas-tegas mempunyai kedudukan dan peranan ketatanegaraan kita
sebagai yang menjiwai UUD dan merupakan rangkaian kesatuan dengannya
dengan sendirinya mempunyai pengaruh yang nyata terhadap setiap
perundang-undangan negara dan kehidupan ideologi seluruh bangsa”
Ahmad
Syafi’i Ma’arif dalam bukunya Studi Tentang Percaturan dalam
Konstituante: Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta:LP3ES, 1985)
mengatakan konsideran dalam dekrit tersebut merupakan kompromi antara
pendukung Pancasila dan Islam. Menurut Maarif, konsideran tersebut
mempunyai makna konstitusional, meskipun implisit, namun gagasan
melaksanakan syariat Islam tidak dimatikan. “Inilah barangkali tafsiran
yang akurat dan adil terhadap kaitan Dekrit 5 Juli dengan Piagam
Jakarta. Penafsiran yang lain dari ini, disamping tidak punya makna,
juga bersifat ahistoris,” jelasnya.
Pendapat serupa ditulis oleh
Prof Hazairin, yang mengatakan bahwa Piagam Jakarta yang dikatakan dalam
Dekrit 5 Juli 1959 sebagai “menjiwai” dan menjadi “rangkaian kesatuan”
bagi UUD 1945 adalah maha penting bagi penafsiran pasal 29 1 UUD 1945,
yang tanpa perangkaian tersebut maknanya menjadi kabur dan dapat
menimbulkan penafsiran yang beragam dan absurd, karena penjelasan yang
resmi mengenai pasal tersebut tidak mencukupi, karena desakan waktu.
Penghapusn
tujuh kata dalam Piagam Jakarta pada 18 Agutus 1945 merupakan toleransi
dari umat Islam yang menuntut diberlakukannya syariat Islam bagi
pemeluknya. Dekrit Soekarno jelas menegaskan soal keberadaan Piagam
Jakarta, yang “menjiwai” dan menjadi “rangkaian kesatuan” konstitusi
bangsa ini.
Siapa yang menggagas ide untuk kembali ke konstitusi
1945 dan menyebut soal Piagam Jakarta dalam dekrit presiden tersebut?
Ide tersebut ternyata datang dari kalangan militer, yaitu Jenderal AH
Nasution. Mengenai hal ini bisa dilihat dalam buku Islam di Mata Para
Jenderal, (Jakarta: Penerbit Mizan, 1997, hal 20), yang memuat hasil
wawancara dengan Jenderal Nasution.
Keterangan
ini dikuatkan oleh pengakuan tokoh NU, KH Saifudin Zuhri yang
menceritakan bahwa suatu hari di awal bulan Juli 1959 pada pukul 01.30
dini hari ia ditelepon KH Idham Chalid. Kepada Zuhri, Kiai Idham Chalid
memintanya datang ke rumahnya di jalan Jogja 51 dini hari itu juga,
terkait dengan rencana kedatangan dua orang pejabat amat penting. Pukul
02.00 lebih sedikit, Zuhri sudah tiba di rumah Kiai Chalid. Tak berapa
lama datang dua orang pejabat penting itu, yang tak lain adalah Jenderal
A. H Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat/ Menteri Keamanan dan
Pertahanan, dan Letkol CPM R. Rusli, Komandan CPM (Corp Polisi Militer)
seluruh Indonesia.
Kedua orang pejabat tentara itu meminta saran
kepada dua orang tokoh NU tersebut terkait rencana keberangkatan mereka
untuk menemui Soekarno yang sedang berobat di Jepang. Dari kalangan
tentara saat itu ingin mengusulkan kepada presiden Soekarno agar UUD
1945 diberlakukan kembali lewat Dekrit Presiden. Terkait hal itu, dua
orang petinggi militer itu meminta saran kepada tokoh NU untuk
memberikan materi apa saja yang akan dimasukan dalam dekrit.
“Isinya
terserah pemerintah, tetapi hendaklah memperhatikan suara-suara
golongan Islam dalam Konstituante,” kata Kiai Idham Chalid. “Apa
kongkretnya tuntutan golongan Islam itu,” tanya Jenderal Nasution.
“Agar Piagam Jakarta diakui kedudukannya sebagai menjiwai UUD 1945,” jawab Saifudin Zuhri.
“Bagaimana sikap NU apabila presiden menempuh jalan dekrit?” Tanya Nasution.
“Kami
tidak bisa katakan, itu hak presiden untuk menempuh jalan menyelamatkan
negara,” jawab Kiai Idham Chalid.(Lihat M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama
dan Islam Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik, Jakarta:PT Gramedia
Pustakan Utama, 1998, cet. Kedua, hal. 286).
Soal keterlibatan
Jenderal Nasution dalam menggagas upaya kembali ke UUD 1945 dengan
syarat Piagam Jakarta diakui sebagai bagian dan rangkaian kesatuan dari
UUD, dan sikap NU yang menerima usulan tersebut dengan syarat Piagam
Jakarta diposisikan seperti itu, juga ditulis oleh pengamat NU, Andree
Feillard dalam buku ”NU vis-a-vis Negara.”
Andree Feillard menggambarkan sikap NU terhadap Piagam Jakarta ketika itu seperti berikut:
”Pada
tahun 1959, NU bersedia kembali ke Undang-undang Dasar 1945 dengan
syarat Piagam Jakarta diakui ”menjiwai” dan ”satu rangkaian” dengan
Undang-Undang Dasar tersebut. Meskipun Pengurus Besar NU merasa puas
dengan kompromi ini, namun tidaklah demikian halnya dengan beberapa
cabang daerah. PBNU terpaksa menyebarkan edaran yang menjelaskan
usaha-usaha mendukung Piagam Jakarta. Dan usaha itu tidak berhenti di
situ. Pada tahun 1962, Nahdlatul Ulama meminta pemerintah supaya
mengupayakan ”seluruh perundang-undangan organik dari UUD secara
otomatis dijiwai oleh Piagam Jakarta. Muktamar itu juga mengusulkan
pembentukan Mahkamah Agung Islam. Dalam pandangannya, Piagam Jakarta
dasar kehidupan hukum positif negara RI.”
Sikap para aktivis NU
terhadap Piagam Jakarta, kata Andree Feillard, juga terlihat dalam
pawai-pawai di Jakarta ketika memperingati 40 tahun hari lahirnya
Nahdlatul Ulama. Dalam pawai-pawai tersebut, tuntutan untuk
mengembalikan Piagam Jakarta sebagai bagian dari UUD 1945 bertebaran
dalam spanduk yang dibawa di jalan-jalan.
Pada bulan April 1966,
para aktivis NU yang berkumpul di Bogor, Jawa Barat, kembali menegaskan
dukungannya terhadap Piagam Jakarta sebagai berikut:
1. Karena negara dilandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, yang tidak dapat dipisahkan dari Piagam Jakarta, jalan terbuka untuk mewujudkan cita-cita partai. Sebab bila Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 benar-benar dijalankan dalam masyarakat, hasilnya adalah masyarakat yang sesuai dengan cita-cita partai.
Dasar 1945, yang tidak dapat dipisahkan dari Piagam Jakarta, jalan terbuka untuk mewujudkan cita-cita partai. Sebab bila Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 benar-benar dijalankan dalam masyarakat, hasilnya adalah masyarakat yang sesuai dengan cita-cita partai.
2. Dengan demikian, perjuangan partai harus ditujukan untuk mempertahankan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Piagam Jakarta yang mengilhaminya.
Sikap
para aktivis NU dulu dan sekarang tentu saja berbeda. Sejak NU di bawah
kepemimpinan Abdurrahman Wahid hingga kini, sikap NU terhadap Piagam
Jakarta, bahkan secara umum terhadap penegakkan syariat Islam, terkesan
anti dan melakukan penentangan yang keras. Apalagi, sejak virus Sepilis
(Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme) mewabah di kalangan anak-anak
muda NU dan sebagian oknum kiai NU, Piagam Jakarta justru dianggap
sebagai ancaman terhadap NKRI dan pluralisme.
Belakangan, para
aktivis NU yang tergabung dalam jajaran para pengasong paham Sepilis
bahkan menerbitkan sebuah buku propaganda yang sangat tendensius
mengadu-domba antar elemen umat Islam dan antar elemen umat Islam dengan
bangsa Indonesia umumnya, yang berjudul ‘Ilusi Negara Islam’. Buku
tersebut, menyerang upaya umat Islam untuk mengembalikan Piagam Jakarta.
Bahkan,
berkolaborasi dengan kelompok Kristen, para pengasong Sepilis itu juga
menyerang Perda-perda Anti Maksiat yang secara konstitusional lahir dari
upaya yang legal dan demokratis. Mereka menyebut perda-perda tersebut
sebagai upaya menegakkan semangat Piagam Jakarta dan syariat Islam
secara umum.
Dari kalimat dekrit yang disampaikan Presiden
Soekarno, sampai saat ini, fakta hukum Piagam Jakarta sebenarnya masih
berlaku. Status hukum Piagam Jakarta sampai saat ini adalah sesuatu yang
”menjiwai” dan sebagai ”rangkaian kesatuan” dari UUD 1945. Jadi,
tinggal kita umat Islam meminta kepada pemerintah untuk mengumumkan
kepada masyarakat bahwa Piagam Jakarta adalah hak konstitusional umat
Islam yang sampai saat ini masih berlaku.Sebagai sebuah fakta hukum,
pemerintah harus memberlakukan Piagam Jakarta tersebut bagi umat Islam!
Sumber: http://www.kiblat.net/2014/08/18/18-agustus-1945-dihapusnya-syariat-islam-dalam-piagam-jakarta/