Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa inggris bureau + cracy), diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai :
- Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh makan pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan
- Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.
- Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat, dan
- Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.
Dalam kenyataannya sekarang birokrasi memang lebih cenderung ke pengertian setelah revisi yaitu "sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang dipilih oleh rakyat" termasuk di dalamnya Kepala Desa, Lurah, Bupati, Gubernur, Presiden, beserta jajaran yang berada dibawahnya. Jika merujuk ke pengertian yang kedua "cara pemerintahan yang dikuasai oleh pegawai". Maka memang akan sangat riskan menimbulkan hal-hal yang tidak seyogyanya dilakukan. Seperti Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) yang "KATANYA" sedang gencar-gencarnya diberantas oleh negara tercinta ini, namun kenyataannya???. Tetap belum ada penyelesaian yang jelas.
Dimanapun birokrasi ini berdiri dan berada , sepertinya tetap tidak akan "bersih". Saya punya seorang rekan kerja yang pernah bercerita tentang pengurusan surat kepindahan dinas dari kapupaten yang satu ke kabupaten yang lain yang bertele-tele dan tak kunjung diurus. Padahal beliau sudah melakukan sesuai prosedur yang ada. Namun kenyataaanyaa???. Setelah berkas sudah diserahkan, jawabnya : "Nanti pak bulan depan" . 1 bulan kemudian "Nanti pak, bulan depan". 1 bulan berikutnya, " Nanti pak, bulan depan". Pun ketika ada seseorang yang mengurus surat-surat yang lain kalau tidak ada "uang pelicin" akan tak kunjung diurus. Serta masih banyak contoh nyata yang mungkin pembaca sendiri pernah mengalami atau menjumpainya.
Persoalan birokrasi di Indonesia sekarang ini ibarat gajah di pelupuk
mata yang tidak kelihatan. Karena saking kusutnya, bangsa ini sendiri
tidak bisa lagi mengenal, sebelum orang lain mengingatkannya. Hasil
survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) baru-baru ini yang
menyebut kinerja birokrasi Indonesia merupakan yang terburuk kedua di
Asia setelah India, adalah salah satu contohnya.
Buruknya pelayanan birokrasi ini sesungguhnya sudah merupakan
penyakit menahun di Indonesia. Sejak zaman Orde Baru hingga Reformasi,
berulangkali pemantau internasional menobatkan negeri ini dengan
prestasi buruk, namun kinerja aparatur penyelenggara negara itu
bergeming sedikit pun. Tidak hanya uang negara yang habis untuk membayar
upah para pegawai negara itu, harga diri Indonesia juga tercoreng di
mata dunia karena ulah para birokrat yang tak becus itu.
Permasalahan birokrasi Indonesia saat ini tidak lepas dari rendahnya
kualitas SDM aparat birokrasi; semangat kerja dan kesadaran atas tugas
dan tanggung jawab yang rendah; kurangnya pemahaman atas fokus tujuan
dari tugasnya; lemahnya fungsi koordinasi; organisasi birokrasi yang
sangat gemuk; masih tingginya budaya korupsi; dan pemahaman yang rendah
atas tugasnya sebagai pelayan publik.
Sedikit kilas balik birokrasi Indonesia. Pada masa Kerajaan Sriwijaya
dan Majapahit misalnya, sudah dikenal konsep birokrasi serta pembagian
tugas. Namun demikian, raja masih dianggap yang paling berkuasa dan
menentukan.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, seseorang dapat menduduki
jabatan pegawai pemerintahan Hindia Belanda harus menjalani magang
(pengabdian yang belum digaji) kepada seorang priyayi atasan/pejabat.
Dari magang tersebut terjadi hubungan patron-klien, di mana para
pemagang akan sabar menunggu sampai diangkat sebagai pegawai, bila perlu
mereka akan menjilat, cari muka, dan sebagainya.
Dalam masyarakat yang modern, yakni Indonesia pasca proklamasi,
birokrasi menjadi suatu organisasi atau institusi yang penting. Penting
karena secara umum dipahami bahwa salah satu institusi atau lembaga yang
paling penting untuk membentuk negara adalah pemerintah, sedangkan
personifikasi pemerintah itu sendiri adalah perangkat birokrasinya
(birokrat).
Selanjutnya era Orde Baru, birokrasi memainkan peranan yang sangat
sentral. Karena dominannya peran birokrasi, maka partisipasi masyarakat
terasa kurang berakar atau menjadi “pelengkap” saja. Akibatnya, segala
sesuatu saat itu terkesan lamban, kaku, dan tertutup.
Di era reformasi, demokrasi yang merupakan bentuk pemerintahan yang
dicita-citakan di seluruh dunia mulai tumbuh di Indonesia. Seiring
dengan itu, birokrasi yang memiliki berbagai macam dasar moral di
dalamnya, seperti keyakinan akan nilai dan martabat manusia, kebebasan
manusia, adanya aturan hukum yang pasti, asas musyawarah, dan prinsip
perbaikan juga mulai tumbuh.
Namun, sifat-sifat dan pemahaman negatif di zaman sebelumnya, seperti
lamban, kaku, tertutup, dan koruptif masih tetap tertinggal. Buktinya,
seperti disebutkan di atas, birokrasi Indonesia ditempatkan oleh survei
PERC sebagai yang terburuk kedua di Asia. Indikasi buruknya birokrasi di
Indonesia ini juga ditemukan IFC (International Finance Corporation),
terutama dalam kemudahan berusaha seperti membuka usaha, mendaftarkan
properti, mengakses pinjaman, pembayaran pajak, hingga kepatutan
terhadap kontrak kerja.
Menurut PERC, birokrasi di Indonesia tidak efektif, berbelit-belit,
dan rawan korupsi. Secara keseluruhan, hasil survei itu menunjukkan
Singapura dan Hong Kong sebagai negara dengan sistem birokrasi yang
paling efisien di Asia. Kemudian berturut-turut di bawahnya, Thailand,
Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Malaysia, China, Vietnam, Filipina,
Indonesia, dan India (9,41).
Menanggapi predikat tersebut pemerintah sendiri mengakui telah gagal
mereformasi birokrasi. Bahkan, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi
mengusulkan pemangkasan birokrasi dan revisi UU No 32/2004 tentang
Pemerintah Daerah.
Dari segi ekonomi, pengamat ilmu administrasi negara yang juga guru
besar FISIP UI Eko Prasodjo seperti dilaporkan harian Media Indonesia
(10/6/2010) memperkirakan, Indonesia mengalami kerugian sekitar 30% dari
APBN dan APBD setiap tahun akibat buruknya manajemen birokrasi. Dia
mengaku tidak heran pada hasil survei PERC tersebut.
Pendapat lebih tegas disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD.
Menurutnya, semua presiden Indonesia gagal mereformasi birokrasi.
“Semua presiden gagal menepati janjinya dalam memperbaiki birokrasi,”
ujarnya dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema Uji Sahih Buku Ajar
Hukum Acara di Jakarta (10/6/2010). Kegagalan tersebut menurutnya,
karena instansi-instansi yang ada masih terbelenggu masa lalu.
Melihat persoalan birokrasi sekarang ini, maka jika birokrasi sebagai
“alat pemerintah” yang bekerja untuk kepentingan rakyat berfungsi baik,
birokrasi seharusnya berada dalam posisi netral. Kalaupun posisi itu
tidak dapat sepenuhnya dicapai, paling tidak birokrasi semestinya
mempunyai kemandirian sebagai lembaga yang tetap tegak membela
kepentingan umum yang lebih meningkatkan diri sebagai “abdi masyarakat”.
Melihat kenyataan-kenyataan di atas sungguh sangat "IRONIS" sekali. Jika fungsi awalnya sebagai pembela rakyat yang dipilih oleh rakyat juga. Namun kenyataanya sering "MENCEKIK " rakyat dengan kebijakan-kebijakan yang seringkali ANEH. Pun ketika ada yang berniat membantu dengan mendirikan rumah singgah untuk mencerdaskan anak bangsa, terkadang terhalang oleh perijinan yang berbelit-belit. Katanya "pendidikan untuk semua rakyat". Namun seperti terbentur kepentingan dan aturan yang akhirnya terkadang tak bisa dinikmati oleh semua rakyat.
Dengan perubahan